BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 09 Mei 2011

Hari Ini Puncak Hujan Meteor Eta Aquarid




STELLARIUM
Foto:


Fenomena langit malam tiada habisnya. Apalagi yang namanya hujan meteor. Hampir setiap musim ada momen-momen yang sayang dilewatkan. Malam ini diperkirakan menjadi waktu terbaik untuk melihat hujan meteor Eta Aquarid.

Peristiwa tahunan itu kali ini diperkirakan akan mencapai puncaknya, Jumat (6/5/2011) ini. Eta Aquarid merupakan hujan meteor yang berasal dari debu dan pecahan-pecahan komet Halley. Bumi melintasi orbit Halley dua kali setahun, tiap Mei dan Oktober. Kali ini Bumi akan kembali melintasi orbit komet tersebut sehingga meteor-meteor yang terbakar di atmosfer Bumi bisa diamati sejak 28 April hingga 21 Mei 2011.

"Dengan kondisi ideal, 30 sampai 60 meteor yang sangat cepat ini bisa dilihat setiap jam," kata Joe Rao, kolumnis pengamat langit di Space.com, Kamis (5/5/2011). Menurut dia, tahun ini merupakan pengamatan hujan meteor Eta Aquarid yang sempurna karena tidak ada gangguan cahaya bulan yang tengah memasuki fase bulan baru.

Hujan meteor Eta Aquarid dapat diamati dekat rasi Aquarius. Meteor-meteor yang terbakar bakal muncul secara radial dari bagian atas rasi tersebut. Untuk pengamat di Indonesia, rasi Aquarius pada Sabtu (7/5/2011) akan terbit mulai pukul 2.00 dini hari tepat di arah timur dan akan terus bergerak semu ke atas sampai Matahari terbit.

Menunggu meteor muncul mungkin membutuhkan konsentrasi penuh meskipun santai. Namun, pengalaman melihat satu saja meteor melintas bakal mengejutkan. Dan, jangan khawatir, setelah menunggu meteor-meteor lewat, Anda juga dapat menyaksikan pemandangan yang tidak kalah menarik. Mulai sekitar pukul 04.00, enam planet akan berjajar di arah timur. Masing-masing dari bawah Mars, Yupiter, Merkurius, Venus, Uranus, dan Neptunus.

Enam Planet Segaris di Langit Subuh


STELLARIUM

Selama Mei ini, penduduk Bumi dapat melihat enam planet anggota tata surya berada nyaris segaris di sepanjang ekliptika (bidang edar semu Matahari). Demikian artikel Geoff Gaherty di media online Space.com, Kamis (28/4/2011).

Empat dari enam planet itu dapat dilihat dengan mata telanjang, yaitu Yupiter, Mars, Merkurius, dan Venus. Dua planet lain dapat dilihat dengan binokuler atau teleskop kecil, yaitu Uranus dan Neptunus.

Di Jakarta, planet-planet itu baru dapat diamati mulai pukul 04.40. Kelima planet selain Neptunus berada pada ketinggian 5-15 derajat di arah timur tempat Matahari terbit. Adapun Neptunus terpisah agak jauh di ketinggian 55 derajat.

Untuk dapat melihat planet-planet itu, langit harus cerah dan medan pandang ke ufuk timur tidak terhalang. Hambatan utama pengamatan adalah posisi planet yang rendah dan waktu pengamatan terbatas sampai pukul 05.00. Setelah itu, cahaya planet-planet yang redup akan kalah dengan sinar Matahari.

Yang termudah mencari Venus lebih dulu, yaitu planet terang dengan posisi paling tinggi di antara planet yang bisa diamati tanpa alat lain. Adapun planet terterang kedua, Yupiter, ada di bagian paling bawah. Sedikit di atas Yupiter terdapat Mars dan semakin ke atas ada Merkurius.

Matahari, Riwayatmu Nanti...


NASA/SDO Lidah api matahari yang direkam satelit Solar Dynamics Observatory (SDO) dibandingkan ukuran Bumi.

Sejak lahir 4,6 miliar tahun lalu, hingga kini 37 persen hidrogen yang menjadi bahan bakar utama Matahari telah terbakar menjadi helium. Diperkirakan 5 miliar tahun lagi, Matahari akan berevolusi menjadi bintang raksasa merah yang radiusnya bisa mencapai 1.000 kali radius Matahari saat ini.

Matahari terbentuk dari gumpalan awan raksasa berisi gas dan partikel atomik yang sangat renggang dengan suhu 3 derajat kelvin (K) atau minus 270 derajat celsius. Awan ini terentang sejauh 480 triliun kilometer (50 tahun cahaya). Sebagai perbandingan, jarak Bumi dan Matahari hanya 8 menit cahaya.

Saat bagian tertentu awan raksasa tersebut terganggu keseimbangannya, bagian itu akan mengalami pemampatan hingga akhirnya runtuh dan membentuk globul (gumpalan awan padat). Pemampatan itu diikuti dengan peningkatan temperatur inti globul yang memungkinkan globul memancarkan radiasi.

Pancaran radiasi ini membuat proses pemampatan materi melambat hingga proses keruntuhan gravitasi dapat dilawan. Globul pun menjadi stabil. Saat inilah jabang bayi Matahari (protosun) terbentuk.

Pada waktu itu, temperatur Matahari sudah mencapai 150.000 K dan memancarkan cahaya merah dari energi gravitasi globul, bukan reaksi nuklir pada intinya. Radiusnya baru sekitar separuh radius Matahari saat ini.

Ketika temperatur inti bayi Matahari mencapai 10 juta K, pembakaran hidrogen menjadi helium pun berlangsung. ”Saat hidrogen mulai terbakar inilah menjadi tanda lahirnya Matahari,” kata dosen evolusi bintang Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Hakim L Malasan.

Inti Matahari

Inti Matahari hanya berukuran 10 persen dari bola Matahari keseluruhan. Temperaturnya kini mencapai 15 juta K. Temperatur inti jauh berbeda dengan temperatur permukaan Matahari yang hanya berkisar 5.500 K-6.000 K.

Pada 5 miliar tahun ke depan, hidrogen di inti Matahari diperkirakan akan habis terbakar menjadi helium. Namun, inti Matahari belum memiliki suhu memadai untuk membakar helium yang membutuhkan suhu 100 juta K.

Tidak adanya energi yang menopang inti membuat inti Matahari menyusut. Namun, penyusutan ini akan meningkatkan suhu inti Matahari. Akibatnya, hidrogen yang ada di selimut inti (lapisan luar) Matahari akan terbakar. Pembakaran hidrogen di selimut inti akan membuat lapisan luar Matahari mengembang hingga radiusnya mencapai 10-100 kali radius semula.

Pada fase ini, Hakim melanjutkan, Matahari berevolusi menjadi bintang raksasa merah. Pengembangan itu berdampak pada turunnya suhu permukaan Matahari yang ditunjukkan dengan warna bintang yang berubah dari kuning keputihan menjadi merah.

Menelan planet sekitar

Mengembangnya Matahari akan menelan Planet Merkurius yang berjarak 58 juta kilometer. Meskipun suhunya turun menjadi 3.500 K, suhu itu masih cukup signifikan untuk memicu kenaikan suhu drastis di Venus dan Bumi.

Pembakaran hidrogen menjadi helium di selimut Matahari akan membuat suhu selimut makin meningkat. Kondisi ini membuat Matahari semakin mengembang hingga radiusnya mencapai 1.000 kali radius semula Matahari.

Pada pengembangan kedua menjadi bintang raksasa merah yang lebih besar ini, Bumi akan tertelan Matahari. Namun, pada saat itu terjadi, sebagian besar isi Bumi sudah akan menguap terlebih dulu.

Selama pengembangan itu, inti Matahari terus menyusut hingga suhunya mencapai 100 juta K. Pada temperatur itu, helium akan terbakar menjadi karbon dan oksigen.

Namun, suhu yang sangat tinggi itu tidak mudah terlepas ke selimut Matahari. Akibatnya, inti menjadi tidak stabil dan dalam waktu singkat menjadi super panas hingga mendorong selimut Matahari makin jauh dengan cepat. Proses dorongan ini berlangsung berulang-ulang hingga bagian luar Matahari seolah-olah menjadi berlapis-lapis.

Pada tahap ini, Matahari mulai memasuki fase sekarat. Karbon di inti Matahari tidak mungkin terbakar karena bintang seukuran Matahari tidak akan mampu menghasilkan panas yang mampu membakar karbon. Namun, suhu ini masih mampu mendorong lepasnya bagian luar Matahari yang terdiri atas hidrogen dan helium dari intinya.

Matahari akan terus mengembang hingga setengah massanya hilang ke angkasa. Pada saat ini, Matahari mati karena bentuknya telah menjadi planetary nebula, berupa gumpalan partikel bintang yang melingkupi inti Matahari yang masih menyala.

Inti Matahari yang tersisa akan terus mengecil dan menjadi bintang katai putih. Ukuran bintang ini hanya seukuran Bumi dan suhunya cukup dingin.

Tahap akhir evolusi Matahari akan menjadikan bintang katai putih memudar warnanya secara perlahan-lahan hingga menjadi bintang katai hitam.

Baik planetary nebula maupun bintang katai hitam ini akan menjadi bagian materi antarbintang yang akan menjadi bahan baku pembentukan bintang baru lain.

Proses hidup Matahari ini menunjukkan fase kehidupan bintang dan manusia sama: lahir, hidup dan tumbuh menjadi tua, hingga akhirnya mati. Semua tak ada yang abadi.

Mineral Tertua di Tata Surya Ditemukan

NASA
Ilustrasi bentuk tata surya yang tidak bulat seperti bola disimpulkan setelah Voyager 2 tida di batas heliosfer.

Meteorit berusia 4,5 juta tahun yang ditemukan di Afrika mengandung salah satu mineral tertua di tata surya. Mineral itu dinamai Krotite berdasarkan nama Alexander N Krot, ahli kimia kosmos yang berkontribusi besar dalam menerangkan proses awal pembentukan tata surya.


Anthony Kampf, kurator Mineral Sciences at the Natural History Museum of Los Angeles County, mengungkapkan, "Ini adalah satu mineral yang belum pernah diketahui sebelumnya hingga kami menemukannya di sini. Sangat dramatis."

Krotite ditemukan di sebuah meteorit bernama NWA 1934 CV3 carbonaceous chondrite. Menurut ilmuwan, chondrite merupakan meteorit primitif sisa pembentukan planet. Sebagian besar meteorit yang ditemukan di dekat Bumi masuk dalam jenis ini.

Krotite terdiri dari unsur kalsium, aluminium, dan oksigen. Krotite terbentuk pada suhu 1.500 derajat celsius. Mineral itu diperkirakan terbentuk kala nebula terkondensasi dan planet terbentuk. Melihat temperatur pembentukannya, Kritite diperkirakan merupakan mineral tertua di tata surya.

Untuk menemukan mineral itu, ilmuwan menelaah butir meteorit berukuran 4 mm yang disebut "telur retak" karena penampakannya. Selain Krotite, ilmuwan memperkirakan masih ada mineral baru lainnya dalam sampel yang sama.

Pemimpin penelitian, Chi Ma, dari Caltech, mengatakan, "Meteorit ini sepertinya berasal dari asteroid di wilayah sabuk asteroid." Ia mengatakan, mempelajari mineral dalam meteorit itu bisa membantu memahami proses terbentuknya tata surya.

Penemuan mineral baru ini dipublikasikan dalam jurnal American Mineralogist edisi Mei-Juni tahun ini. Ilmuwan memperkirakan bahwa dalam sampel yang sama masih ada 8 mineral lain yang bisa ditemukan

NASA Buktikan Kebenaran Teori Einstein




James Overduin/Pancho Eekelsi/Boh Kahn

Dua ramalan Albert Einstein dalam teori relativitas terbukti benar oleh misi Gravity Probe B milik NASA. Sebelumnya, teori Einstein tersebut sulit dikonfirmasi.

"Teori Einstein bertahan," kata Francis Everitt, kepala penelitian dari Stanford University, California, Amerika Serikat, Rabu (4/5/2011) lalu.

Ada dua aspek dalam teori Einstein mengenai gravitasi. Aspek pertama adalah efek geodesi, efek pembelokan ruang dan waktu di sekitar benda bergravitasi, seperti planet. Aspek kedua adalah "frame dragging", yakni jumlah struktur ruang dan waktu yang terbawa oleh objek berputar.

Untuk menguji teori ilmuwan kelahiran Jerman tersebut, NASA mengirim Gravity Probe B untuk mengorbit Bumi. Pesawat itu dilengkapi sebuah alat yang disebut "pelacak bintang" untuk mengikuti sebuah bintang bernama IM Pegasi. Jika efek geodesi dan frame dragging tidak ada, pelacak bintang seharusnya selalu terkunci dengan bintang selamanya.

Jika Einstein benar, arah putaran Gravity Probe B akan berubah sedikit demi sedikit akibat massa dan rotasi Bumi. Everitt menganalogikan efek ini dengan bola berotasi di dalam madu. "Madu dan benda-benda yang juga berada di dalam madu akan terseret," jelas Everitt.

Dengan menganalisis data, tim peneliti menemukan perubahan orientasi sekitar 6.600 miliarcsecond setahun-1 miliarcsecond, kata Everitt, sama dengan lebar sehelah rambut manusia dilihat dari jarak 16 kilometer. Perubahan yang sangat kecil yang mungkin Einsten sendiri pun sulit tunjukkan. Dalam bukunya The Meaning of Relativity, Einstein menuliskan, "Efek frame dragging muncul berdasarkan teori kami, meskipun tingkatannya sangat kecil sehingga pembuktian dengan entah eksperimen laboratorium apa yang harus dilakukan."

Pembuktian ini dapat membuat ilmuwan memahami beberapa kejadian di alam semesta. "Mengukur efek frame dragging akibat rotasi bumi punya implikasi besar," kata ahli fisika Clifford Will dari Washington University di St. Louis yang tidak terlibat dalam penelitian.

Contohnya, kata Will, frame dragging sepertinya punya peranan dalam memicu ledakan energi dari kuarsa, galaksi yang sangat jauh yang secara aktif berperan dalam lubang hitam.

Minggu, 08 Mei 2011

Wah, Asteroid Sebesar Pesawat Melintasi Bumi

California - Para astronom menyiapkan alat guna mengamati asteroid raksasa seukuran pesawat. Asteroid ini akan melintasi bumi dengan jarak sangat dekat. Seperti apa?

Space.com melaporkan, sebuah asteroid seukuran pesawat akan melintasi bumi dengan jarak lebih dekat dari bulan. Namun media itu memastikan, asteroid itu tidak berpotensi mengancam Bumi.

"Tak ada bahaya tabrakan saat asteroid 2005 YU55 mencapai jarak terdekat dengan bumi 8 November mendatang,” ungkap para astronom itu.

Jarak terdekat lintasan asteroid ini diperkirakan mencapai 324.604 kilometer dari Bumi, lanjutnya.

Pada titik terdekat itu, para astronom mengaku menjadi bisa mempelajari asteroid tersebut dengan lebih baik.

“Biasanya, obyek angkasa yang melintasi Bumi berjarak cukup jauh. Namun, dengan jarak sedekat ini, perangkat sains di Bumi bisa mengamati dengan baik,” papar ilmuwan Jet Propulsion Laboratory milik NASA Barbara Wilson, di Pasadena, California.

Asteroid 2005 YU55 ditemukan para astronom University of Arizona di Tucson pada 2005. [mor]