BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 19 Februari 2011

Keren, 8 Planet di Satu Bingkai Foto !



NASA Jika Voyager 1 memotret tata surya dari Neptunus ke arah Matahari, maka Messenger memotret tata surya dari sudut pandang sebaliknya, yaitu dari Matahari ke arah Uranus.

Wahana luar angkasa Messenger, yang kini ergerak untuk mengorbit Merkurius, berhasil menjepret citra keseluruhan tata surya. Dalam citra tersebut terdapat delapan planet anggota tata surya plus Bulan sebagai satelit Bumi. Semuanya ada dalam satu bingkai foto.

Untuk mendapatkan citra tersebut, Messenger mengambil 34 citra selama dua minggu pada November 2010. Ilmuwan yang bekerja pada proyek wahana luar angkasa itu kemudian mengoleksi citra tersebut dan menggabungkannya menjadi sebuah citra tata surya yang utuh.

Citra tata surya tersebut menggambarkan Venus sebagai salah satu planet paling terang di sudut kiri. Di dekat Venus terdapat Bumi beserta Bulan. Uranus dan Neptunus tampak sangat samar, sedangkan Jupiter terlihat cemerlang di dekat Neptunus dan Uranus.

Di bagian paling kanan gambar terdapat Mars, Merkurius, serta Venus yang seolah tampak berdekatan. Sementara di bagian lain yang tak begitu jelas, sebenarnya Messenger juga berhasil memotret satelit-satelit Jupiter, yakni Callisto, Ganymede, Europa, serta Io.

"Citra ini menggambarkan bahwa Bumi merupakan anggota 'rukun tetangga' tata surya yang terbentuk oleh sebuah proses yang berlangsung selama 4,5 miliar tahun lalu," kata Sean Solomon, kepala investigator dalam misi Messenger yang berasal dari Carnegie Institution of Washington.

Keseluruhan planet dan satelit tersusun dalam sabuk berbentuk S yang sempit.

"Tak mudah untuk menemukan momen saat planet berada dalam satu bidang pandang dari perspektif tertentu," kata Solomon, yang mengaku timnya mengalami kendala dalam menangkap gambar dalam arah tertentu.

Para ilmuwan menggunakan perangkat lunak (software) untuk menyimulasikan lokasi Messenger sehingga bisa mengetahui planet yang terlihat dari kamera. Mereka juga harus menyesuaikan beberapa foto sehingga citra planet yang diambil bisa ditampilkan seutuhnya meskipun dengan beberapa ketidaksempurnaan.

Dengan citra yang diambil tersebut, Messenger berhasil melengkapi potret yang diambil oleh Voyager 1 pada 1990. Voyager 1 memotret tata surya dari Neptunus ke arah Matahari, sedangkan Messenger memotret tata surya dari sudut pandang sebaliknya, yaitu dari Matahari ke arah Uranus.

"Melihat tata surya kita yang bagai titik cahaya mengingatkan betapa beruntungnya kita sebab memiliki kesempatan untuk mendekat dan mengeksplorasi keragaman serta geologi setiap planet dan bulan yang luar biasa," kata Brett Denevi dari Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory di Laurel.

Messenger telah terbang melintas Merkurius sebanyak tiga kali sejak diluncurkan pada 2004. Wahana luar angkasa ini akan memasuki orbit Merkurius pada 18 Maret. Nama Messenger merupakan akronim Mercury Surface, Space Environment, Geochemistry, and Ranging.

Robot Khusus "Nge-tweet" dari Antariksa



Agensi Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA) berencana mengirim robot humanoid ke angkasa. Robot tersebut secara khusus diharapkan bisa berkomunikasi dengan manusia di Bumi lewat jaringan microblogging Twitter.

JAXA berencana melakukan studi sebelum meluncurkan robot itu paling cepat pada 2013. JAXA akan mengirimkan robot tersebut ke International Space Station.

Robot itu diharapkan bisa nge-tweet kata-kata sederhana, seperti "selamat pagi" dan "selamat malam". Tak ketinggalan, robot itu juga akan memberitahukan lokasinya di antariksa.

Insinyur JAXA, Satoshi Sano, mengatakan, robot ini bisa membantu berkomunikasi saat para astronot sedang tidur. Robot juga bisa mengukur tingkat stres para astronot dengan mendeteksi nada bicara dan ekspresi wajah mereka.

"Sejalan dengan masyarakat yang semakin antusias, saya berharap proyek robot ini bisa memfasilitasi komunikasi dengan orang lebih tua di tempat terpencil di angkasa serta anggota keluarga," kata Sano.

Selain JAXA, agensi iklan Dentsu di Jepang dan Universitas Tokyo juga akan mendukung proyek ini. Sementara itu NASA juga akan mengirimkan robot humanoid yang akan dibawa bersama pesawat ulang alik Discovery minggu depan.

Kelahiran Planet Akhirnya Berhasil Diabadikan




NewScientist
Citra yang diambil Christian Thalmann dari Max Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Jerman.

Sistem keplanetan mulanya adalah pusaran gas dan kondensasi debu yang berada di piringan "bayi" bintang. Ketika gravitasi mulai menarik keduanya, materi mengumpul dan mulai menyusun sebuah bentuk. Gravitasi terus mengumpulkan debu hingga terbentuk planet.

Sejauh ini kelahiran planet nyaris belum pernah disaksikan. Namun, citra yang diambil Christian Thalmann dari Max Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Jerman, berhasil membuat kita bisa menyaksikan rupa awal pembentukan planet, atau lebih luasnya sistem keplanetan.

Thalman dan timnya berhasil menangkap citra detail dari pembentukan piringan sistem keplanetan. Piringan tersebut mengelilingi bintang muda yang berjarak 450 tahun cahaya dari bumi. Bagian dalam yang terang dan berbentuk bujur membentuk celah pada piringan itu.

Celah yang berbentuk elips tampak miring dan berada di dekat pusat. Hal itu menunjukkan adanya sebuah planet yang seolah menyibak seluruh materi di sekitarnya, membentuk celah, dan mengorbit mengelilingi bintang induknya. Akhirnya sebuah planet lahir dan mulai berevolusi.

Citra tersebut diambil dengan kamera pemburu planet yang terpasang di teleskop Subaru. Citra ini bisa memberikan gambaran tentang awal kelahiran tata surya tempat kita berdiam. Penelitian Thalman dipublikasikan di The Astrophysical Journal Letter beberapa waktu lalu.

Hubble Tangkap Citra "Bayi" Bintang



NASA, ESA dan Hubble Heritage Galaksi NGC 2841 dalam citra yang diambil Teleskop Ruang Angkasa Hubble. Galaksi ini memiliki formasi bintang yang relatif rendah dibanding galaksi spiral lain. NGC 2841 adalah salah satu galaksi dekat galaksi kita yang dipilih dalam penelitian mengenai jenis lingkungan pembentukan bintang.

Teleskop antariksa Hubble berhasil menangkap citra bintang muda yang terbentuk di galaksi spiral bernama MGC 2841. Galaksi tersebut terletak di konstelasi Ursa Major, berjarak sekitar 36 juta tahun cahaya dari Bumi.

Citra tersebut ditangkap dengan empat filter berbeda pada Wide Field Camera 3 (WCF3) yang terdapat di teleskop Hubble. Panjang gelombang yang digunakan ada pada kisaran sinar ultraviolet, cahaya tampak, dan mendekati sinar inframerah.

Dalam citra tersebut, cahaya bintang paling terang tampak di bagian tengah galaksi. Sementara itu, yang membentuk spiral keluar adalah debu yang menjadi siluet limpahan bintang paruh baya.

Citra juga menunjukkan bintang-bintang muda yang terlihat berwarna biru. Sementara itu, yang sedikit samar adalah emisi nebula yang tampak berwarna merah jambu, menandakan "bayi" bintang yang baru saja lahir.

Jumlah bintang muda di galaksi ini cukup banyak, tetapi di sedikit tempat saja gas hidrogen memacu terbentuknya bintang. Tampaknya bintang-bintang muda yang ada menghentikan proses pembentukan bintang lebih lanjut di area mereka lahir.

Citra NGC 1841 merupakan bagian dari studi untuk memahami dan mengidentidikasi proses pembentukan bintang di semesta. Para ilmuwan mengobservasi beragam lingkungan pembentukan bintang untuk menjawab beberapa pertanyaan kunci.

Contohnya, ilmuwan berusaha menjawab bagaimana karakter lingkungan pembentukan bintang bervariasi berdasarkan komposisi dan massa jenis gas. Ilmuwan juga berupaya menjawab apa yang memicu pembentukan bintang.

Ilmuwan mengatakan, pemicu pembentukan bintang belum begitu jelas pada tipe galaksi seperti NGC 2841. Dikatakan, NGC 2841 termasuk tipe galaksi flocculent spiral, salah satunya terlihat dari lengan spiral yang pendek.

Astronom saat ini menggunakan WCF3 untuk mempelajari wilayah pembentukan bintang. Target observasi adalah gugusan (cluster) bintang dan galaksi serta tingkat kelahiran bintang di galaksi aktif seperti Messier 82 hingga galaksi kurang aktif seperti NGC 2841.

WCF3 dipasang di teleskop Hubble sejak tahun 2009. Sementara Hubble adalah proyek bersama NASA dan ESA yang diluncurkan tahun 1990. Teleskop Hubble telah direparasi sebanyak lima kali dan diperkirakan tetap kuat hingga 2014.

Ada Lho Bagian Mars yang Berwarna Biru



NASA/JPL-Caltech/University of Arizona Kawah Rabe yang berwarna biru di Planet Merah.


Planet Mars memang terkenal dengan sebutan planet merah. Tapi, tak seluruh permukaan Mars berwarna merah ketika dicitrakan. Hasil jepretan Mars Reconaissance Orbiter NASA menunjukkan bahwa ada bagian planet itu yang berwarna biru, seperti Bumi.

Hasil jepretan yang dipublikasikan di New Scientist itu ialah bukit pasir di Kawah Rabe, wilayah berdiameter 100 kilometer di dataran tinggi belahan selatan Mars. Gundukan itu benar-benar tampak biru, seperti lautan bumi tampak dari udara.

Bukit pasir itu menutupi sebagian wilayah Kawah Rabe. Bukit pasir terbentuk dari pasir basalt di dasar kawah dan dibentuk oleh angin Mars. Citra lebih dekat menunjukkan pegunungan berstruktur mirip sidik jari, lembah, dan riak-riak.

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa bagian gundukan pasir tampak berwarna lebih gelap dibanding wilayah kawah lain? Salah satu kemungkinannya adalah pasir di dasar kawah bukan pasir lokal, tetapi pasir dari daerah lain yang terjebak oleh kondisi topografis daerah tersebut. Tidak ada uraian mengapa wilayah tersebut berwarna biru.

Kamis, 17 Februari 2011

Matahari Julurkan Lidah Api Terkuat



NASA/SDO
Lidah api matahari yang direkam satelit Solar Dynamics Observatory (SDO) dibandingkan ukuran Bumi.

Matahari menjulurkan lidah api pada tanggal 15 Februari 2011 lalu. Juluran lidah api yang terjadi tergolong dalam kelas X2 dan tergolong juluran terkuat yang pernah terjadi dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.

Lidah api adalah ledakan besar di atmosfer matahari yang bisa melepaskan energi sebesar 6 x 10 (25) Joule. Lidah api ini dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan kekuatannya, di mana yang terbesar adalah kelas X.

Lidah api bisa memengaruhi seluruh lapisan atmosfer matahari. Lidah api akan meningkatkan temperatur plasma hingga jutaan Kelvin, menghasilkan radiasi dari beragam panjang gelombang dan menyebabkan lontaran massa korona.

Lidah api terkuat yang terjadi kemarin berasal dari bintik matahari nomor 1158. Lidah api tersebut merupakan lidah api tertama dari siklus matahari saat ini (solar Cycle 24) yang dimulai 8 Januari 2008 lalu.

"Ini adalah lidah api terbesar yang terjadi sejak 6 Desember 2006," kata Phill Chamberlin, ilmuwan yang terlibat dalam proye Solar Dynamics Observatory NASA. "Kami terkejut ketika mengetahui ini adalah kelas X," lanjutnya.

Chamberlin mengungkapkan, lidah api kelas X kali ini akan diikuti oleh lidah api kelas X yang akan terjadi 2-4 tahun mendatang. Frekuensi terjadinya lidah api akan memuncak ketika mendekari siklus matahari maksimum.

Lontaran massa korona yang terjadi akibat lidah api ini akan mencapai bumi kurang lebih Kamis (17/2/2011) besok, antara 36-48 jam setelah lidah api terjadi. Lontaran massa korona bisa menyebabkan badai geomagnetik.

Gangguan badai matahari

Dampak badai geomagnetik sendiri takkan terlalu siginifikan. Kemungkinan yang terjadi adalah gangguan komunikasi satelit, gangguan sinyal GPS, gangguan jaringan listrik dan kemungkinan korosi pada jaringan bawah tanah.

Jika ada dampak lain, maka dampak ini justru tampak manis. Ketika lontaran masa korona sampai ke bumi, di belahan utara bumi akan muncul fenomena aurora borealis, tampak seperti semburat cahaya matahari dengan berbagai pola.

Sayangnya fenomena terakhir hanya bisa disaksikan jika berada di lintang tinggi. Lidah api matahari sendiri pertama kali diobservasi secara independen oleh Richard Hodgson pada tahun 1859.

Situs astronomi lokal, Langitselatan.com memberitakan bahwa Alfan Nasrulloh sempat mengamati fenomena lidah api ini dengan menggunakan teleskop radio JOVE di observatorium Bosscha.

"Observatorium Bosscha bisa terlibat aktif di radio (frekuensi rendah) untuk 'menyambut' siklus aktifitas matahari ke-24 dengan puncak aktifitas matahari sekitar 2012-2014 dalam bentuk solar patrol," demikian diberitakan situs itu.

Manusia Berhasil "Mendarat di Mars"



IBMP/Oleg Voloshin Kosmonot mencoba pakaian ruang angkasa di fasilitas Mars500.

Tiga orang kosmonot-istilah Rusia untuk astronot-dijadwalkan untuk menjelajahi permukaan Mars dalam rangka investigasi geologis. Ketiga orang itu, Diego Urbina (Italia), Alexander Smoleevskiy (Rusia), dan Wang Yue (China) merupakan tim pertama dari tim Mars500 yang terdiri dari enam orang. Ketiga anggota tim lainnya adalah Romain Charles (Perancis), Sukhrob Kamolov, dan Alexey Sitev (Rusia).

Dr. Martin Zell, Kepala European Space Agency (ESA) di International Space Station (ISS) menjelaskan, dua dari tiga orang dalam tim pertama akan turun ke permukaan Mars sementara seorang lagi tetap berada dalam modul pendaratan. Sedangkan tiga orang anggota tim kedua dijadwalkan baru akan menjelajahi Mars pada 27 Februari.

Namun, penjelajahan tersebut baru akan terjadi secara virtual, belum terjadi secara nyata. Semua aktivitas dikendalikan oleh sistem komputer. Jadi pada kenyataannya, permukaan Mars yang mereka jelajahi adalah lantai berpasir dalam sebuah modul luar angkasa yang terletak di Moskow, Rusia. Ini merupakan simulasi penjelajahan ke Planet Mars.

Meski begitu, anggota tim yang akan melakukan penjelajahan tetap mengenakan pakaian luar angkasa lengkap yang biasa dipakai kosmonot. Sebuah robot juga akan menyertai dua orang yang menjelajahi permukaan Mars. Selain itu, seluruh aktivitas mereka juga akan dipantau oleh Pusat Misi Moskow.

Proyek Mars 500 sudah dimulai sejak Juni tahun 2010. Proyek yang dijalankan atas kerja sama Russia's Institute of Biomedical Problems dengan ESA ini bertujuan untuk mempelajari efek psikologis dan fisiologis yang akan dialami manusia dalam perjalanan panjang ke luar angkasa. Sampai saat ini, menurut Zell, mereka belum menemui masalah serius.

Proyek itu sendiri dinamakan Mars500 karena mensimulasikan waktu yang diperlukan manusia untuk melakukan misi ke Mars di masa depan dengan menggunakan roket seperti saat ini. Misi diperkirakan memakan waktu 250 hari untuk sampai ke Mars, 30 hari untuk berada di permukaannya, dan 240 hari perjalanan kembali ke Bumi (total 520 hari). Namun pada kenyataannya, waktu yang diperlukan bisa saja lebih lama dari perkiraan ini.

Mars500 memang belum berhasil membuat simulasi tanpa-berat konstan layaknya perjalan delapan bulan di luar angkasa. Namun misi itu telah berhasil menerapkan komunikasi antara anggota tim yang berada di dalam modul dan di luar modul dimana perlu waktu tunda 20 menit untuk mencapai kedua titik itu. Waktu tersebut tidak jauh berbeda dengan waktu yang harus ditempuh gelombang radio antara Mars dan Bumi.

Astronom Ragukan Temuan Planet Baru di Tata Surya



NASA


Klaim penemuan planet baru di tata surya oleh John Matese dan Daniel Whitmire dari Universitas Louisiana Lafayette diragukan astronom lainnya. Bukti-bukti dan teknik perhitungan yang dilakukan kedua ilmuwan tersebut dinilai belum kuat untuk memastikan adanya kemungkinan planet baru.

Matthew Holman dari Harvard Smithsonian Institute of Astrophysics adalah salah satunya. Ia tidak memercayai keberadaan planet yang sebenarnya telah diklaim keberadaannya oleh Matese sejak tahun 1999.

"Berdasarkan beberapa paper yang saya lihat, mencermati di mana komet periode panjang datang dan temuan tanda di Awan Oort, saya tidak terpengaruh oleh bukti itu," kata Holman. Meskipun demikian, ia mengaku belum membaca argumen terbaru yang diungkapkan Matese dan rekannya.

Sementara itu, Hal Levison, ilmuwan keplanetan dari Southwest Reasearch Institute mengatakan, "Saya belum membaca paper terbaru yang katanya memiliki analisis statistik lebih baik, yang di situ ia mengklaim keberadaan planet tersebut. Namun, di paper sebelumnya, saya tahu ia salah melakukan analisis statistik."

Menurutnya, klaim luar biasa memerlukan bukti yang luar biasa pula. "Dan, saya yakin Matese tidak memahami bagaimana harus melakukan analisis statistik dengan benar. Saya tidak melawan idenya, tetapi sinyal yang ada sangat sedikit. Saya tidak yakin secara statistik hal itu signifikan," lanjut Levison.

John Matese dan Daniel Whitmire dari Universitas Louisiana Lafayette telah mengklaim keberadaan kandidat planet baru di tata surya. Kandidat planet tersebut untuk sementara dinamakan Tyche dan diduga berada di bagian luar Awan Oort, sebuah lokasi "terpencil" di tata surya.

Mereka mengatakan bahwa planet Tyche diduga berada pada jarak 15.000 kali jarak Matahari-Bumi. Menurut keduanya, planet itu tersusun atas hidrogen dan helium. Jika benar ada, maka Tyche akan menjadi planet ke-9 sekaligus menggantikan posisi Pluto dan menjadi planet terbesar di tata surya.

Dua astronom tersebut menduga, keberadaan planet berdasarkan kejanggalan pada orbital komet. "Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa komet-komet di Awan Oort menunjukkan kejanggalan orbital. Pola ini mungkin merupakan indikasi keberadaan planet di sana," kata Matese.

Menurut Matese, teleskop WISE NASA telah mengumpulkan data-data terkait. "Spektrum yang telah kami perkirakan tidak pasti, mungkin ada banyak sinyal yang berkaitan dengan obyek yang kami maksud. Mungkin butuh 2 tahun untuk menentukan lokasi sinyal itu," tambah Matese.

Bekas Ledakan di Komet Berhasil Dipotret


NASA/JPL-Caltech/Cornell perbandingan citra permukaan Komet Tempel 1 yang diambil wahana Deep Impact dan Stardust-Next untuk menentukan titik bekas tembakan proyektil yang dilepaskan Deep Impact.

Wahana luar angkasa Stardust-NExT berhasil mencapai jarak terdekat dengan komet sasarannya, Tempel 1, Selasa (15/2/2011) pukul 11.40 WIB lalu. Jarak terdekat yang berhasil dicapai oleh wahana luar angkasa tersebut adalah 178 km, lebih dekat dari yang diprediksikan.

Ketika mencapai jarak terdekat, Stardust-NExT juga berhasil mengambil gambar beresolusi tinggi yang mencitrakan wajah komet Tempel 1. Citra tersebut akan digunakan oleh para astronom untuk melihat perubahan pada komet setelah misi Deep Impact pada tahun 2005. Saat itu, wahana Deep Impact menembakkan proyektil ke permukaan komet Tempel 1 dan melakukan observasi untuk mengetahui komposisi komet tersebut.

Salah satu citra yang berhasil dipotret oleh Stardust-NExT adalah kawah seluas 150 meter yang dalam citra tahun 2005 tidak terdapat. Kawah tersebut terlihat sangat kecil pada hasil pencitraan, namun secara konsisten terlihat dari berbagai sisi. Para astronom yakin, kawah itu adalah bekas hantaman pada misi Deep Impact.

Kawah bekas hantaman itu terlihat "lunak", tidak seperti kawah di permukaan batuan lain yang umumnya terbentuk dengan jelas. "Hal ini menunjukkan bahwa inti komet ini rapuh dan lemah, terlihat dari 'kelunakan' kawah yang kita lihat saat ini," kata Peter Schultz, ilmuwan dari Brown University Providence Rhode Island yang juga terlibat dalam misi ini.

Schultz mengatakan, di bagian tengah kawah tampak adanya gundukan. Ini menunjukkan bahwa debu komet yang terhambur ke atas saat hantaman terjadi ditarik kembali ke permukaan komet oleh gaya gravitasi. "Dalam hal itu, kawah tersebut tampak seperti sedang mengubur dirinya sendiri," papar Schultz.

Selain menangkap citra kawah, Stardust-NExT juga berhasil mengambil citra keseluruhan Tempel 1. Dalam citra tersebut, Tempel 1 tampak berbentuk bulat seperti kentang. Pada permukaan komet pertama yang berhasil diobservasi dua kali ini, terdapat bercak-bercak yang menandakan bahwa permukannya tidak rata.

Dengan berhasilnya Stardust-NExT menyelsaikan misi ini, maka wahana luar angkasa ini telah menempuh jarak 5,7 miliar km di angkasa. Stardust-NExT juga telah menyelesaikan dua misi observasi komet. Sebelumnya, Stardust-NExT bernama Stardust dan telah menyelesaikan misi untuk mengoleksi debu dan gas dari komet Wild 2.

Rabu, 16 Februari 2011

"Taksi Asteroid" Antar Manusia ke Mars



JAXA Ilustrasi wahana luar angkasa Hayabusa milik Jepang saat mendekati asteroid Itokawa.Para penjelajah antariksa di masa mendatang mungkin bisa mencapai planet merah Mars dengan "membonceng" asteroid. Mereka dapat menghemat ongkos dengan menempelkan kendaraan antariksa di salah satu sisi asteroid yang akan melintas antara Bumi dan Mars.

Mendaratkan pesawat luar angkasa di landasan batu asteroid dipertimbangkan sebagai cara menyiasati masalah utama yang bakal ditemui saat meluncur ke Mars. Selain ongkos tenaga, menempatkan wahana di sisi yang aman dapat memberi perlindungan dari sinar kosmik ataupun partikel-partikel berenergi tinggi yang banyak berkeliaran dengan kecepatan cahaya di luar angkasa.

Radiasi sinar kosmik membawa efek buruk bagi tubuh manusia. Ia dapat merusak DNA dan juga meningkatkan risiko kanker serta katarak. Penelitian pun mengungkap bahwa sejumlah tertentu radiasi akan membombardir astronaut selama ratusan hari perjalanan mengelilingi Mars akan meningkatkan risiko kanker 1-19 persen.

"Maka ketimbang memusatkan perhatian untuk membangun pelindung yang lebih baik terhadap radiasi, kita perlu memikirkan desain pesawat antariksa yang dapat melompat ke dalam dan ke luar asteroid yang tengah melintas," kata Gregory Matloff, seorang ahli fisika dari New York City College of Technology.

Taksi-asteroid ini membutuhkan luas sekitar 10 meter persegi, sudah cukup untuk memberikan perlindungan yang layak. Sejauh ini telah diketahui lima jenis asteroid yang cocok pada kriteria, dan kelimanya diperkirakan akan melewati Bumi menuju ke Mars sebelum tahun 2100. Bagaimanapun, teori Matloff masih harus mengkaji lagi berbagai hal dan resiko, sebelum direalisasikan sebagai model baru perjalanan luar angkasa.(National Geographic Indonesia/Gloria Samantha)

Ditemukan Planet Baru di Tata Surya



NASA

Sekelompok astronom yakin bahwa mereka telah menemukan planet baru dalam tata surya. Planet tersebut diduga berukuran empat kali lebih besar daripada Jupiter dan berada pada jarak yang sangat jauh dari Matahari.

Keberadaan planet tersebut masih perlu dibuktikan. Namun, beberapa kalangan percaya bahwa bukti-bukti telah terkumpul lewat hasil observasi teleskop NASA, WISE. Data terkait temuan planet tersebut akan dipublikasikan tahun ini.

Daniel Whitmire dari Universitas Lousiana Lafayette, AS, percaya bahwa data-data bisa membuktikan keberadaan planet itu dalam dua tahun. "Jika benar, saya dan rekan saya, John Matese, akan jungkir balik. Dan, itu tidak mudah pada usia kami," katanya.

Untuk sementara, planet itu dinamai Tyche. Nama itu diambil dari nama dewi Yunani yang menentukan nasib suatu kota. Tyche diduga merupakan planet gas raksasa, jenis planet yang sama seperti Jupiter.

Tyche diduga terdapat di bagian luar Awan Oort, sebuah kawasan "terpencil" di tata surya. Jarak planet ini dengan Matahari mencapai 15.000 kali dari jarak Matahari-Bumi atau 375 kali jarak Matahari-Pluto.

Whitmire percaya, penyusun utama Tyche adalah Hidrogen dan Helium. Ia juga mengungkapkan bahwa atmosfer planet ini mirip atmosfer Jupiter. "Anda juga bisa berharap planet ini memiliki beberapa satelit," katanya.

Umumnya, planet yang berada di wilayah Awan Oort memiliki suhu hampir nol mutlak (-273 derajat celsius). Namun, Tyche diperkirakan memiliki suhu -73 derajat celsius, 4-5 kali lebih hangat dari Pluto.

Jika terbukti kebenaran keberadaannya, Tyche akan menjadi planet kesembilan sekaligus terbesar. International Astronomical Union (IAU) akan menjadi pihak yang menyetujui atau menolak keberadaan planet ini.

Whitmire dan Matese menduga keberadaan planet berdasarkan adanya kejanggalan pada sudut kedatangan komet yang banyak terdapat di Awan Oort. Sebesar 20 persen jumlah tertentu yang muncul sejak tahun 1898 memiliki sudut datang yang lebih besar dari seharusnya.

Kemungkinan keberadaan Tyche diungkapkan Whitmire dalam wawancaranya dengan The Independent, Minggu (13/2/2011). Hasil penelitian Whitmire itu didasarkan pada adanya kejanggalan sudut datang komet yang dipublikasikan di jurnal Icarus bulan ini.