BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Sabtu, 19 Maret 2011

Jangan Lupa Tonton Fenomena Langka Supermoon Malam Ini!



Jangan Lupa Tonton Fenomena Langka Supermoon Malam Ini!



"Fenomena ini terjadi 18 tahun sekali, bulan tampak sekitar 14 persen lebih besar," kata Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Bachatiar Anwar saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (19/3/2011).

Bachtiar mengatakan, fenomena supermoon ini merupakan fenomena di mana posisi bulan berada di jarak terdekat dengan bumi. Jarak terdekat itu diperkirakan terjadi setelah tengah malam ini.

"Bulan akan berada di titik terdekatnya dengan bumi (perigee)," kata Bachtiar.

Menurut Bachtiar, fenomena supermoon ini juga akan menyebabkan air pasang yang lebih tinggi dari purnama-purnama yang biasa. Jika didukung dengan angin yang tinggi pula, air pasang akan lebih besar sehingga bisa saja meluap.

"Kalau angin cukup besar ya air pasang akan semakin tinggi karena akan ada gelombang. Selain itu, Supermoon ini tidak akan berdampak lain," kata Bachtiar.


sumber : Detik.com

Ledakan Aurora dalam Terang Bulan


Kerstin Langenberger

Aurora borealis adalah salah satu fenomena alam terindah di Bumi. Merekam keindahannya dengan kamera, apalagi dalam kondisi terang bulan purnama, bukanlah hal mudah sebab cahaya aurora borealis akan "kalah" oleh cahaya bulan.

Tapi, fotografer asal Jerman Kerstin Langenberger berhasil melakukannya. Dalam fotonya, aurora borealis terlihat terang dalam cahaya Bulan, seolah fenomena tersebut muncul di siang bolong.

Langenberger berhasil memotret setelah menantia selama 300 jam menunggu fenomena itu muncul. Ia mengungkapkan, "Aurora harus sangat terang untuk bisa tampak saat ada Bulan. Ini jarang terjadi sehingga gambar seperti ini sangat jarang."

Foto Langenberger berhasil menguak keindahan Thingvellir National Park, tempat pengambilan foto yang menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO. Dalam foto itu, aurora tampak sebagai ledakan cahaya hijau dan ungu.

Aurora dijumpai di Kutub Utara dan kutub selatan Bumi. Aurora yang dijumpai di kutub utara disebut Aurora Borealis atau Northern Light sementara yang dijumpai di Kutub selatan disebut Aurora Australis.

Fenomena ini muncul akibat partikel bermuatan dari Matahari yang dihantarkan ke Bumi. Partikel tersebut tertarik oleh medan magnet Bumi, melepaskan energi hingga menghasilkan cahaya di lapisan ionosfer.

Kemunculannya tiba-tiba. Langenberger harus tiba di lokasi siang hari sehingga bisa mempersiapkan semua alat-alat untuk memotret. Malam harinya, ia harus sabar menanti si aurora datang.

"Kesulitannya adalah mengetahui dimana aurora muncul dan seperti apa nanti. Untuk waktu lama, tak ada yang terjadi dan hanya bisa menunggu. Namun, tiba-tiba langit malam hari mengalami ledakan aurora," kata Langenberger.

Langenberger mengungkapkan, "Ledakan aurora biasanya bertahan hingga beberapa menit, lalu ia akan menghilang. Aurora mungkin muncul lagi, tetapi bisa juga tidak. Tak ada yang tahu nantinya."

Aurora bukan hanya bisa muncul di Bumi. Hubble Space Telescope pernah menangkap fenomena aurora di Jupiter dan Saturnus, bahkan di satelit Jupiter yaitu Io, Europa dan Ganymede. Uranus dan Neptunus dilaporkan juga memiliki aurora.

Kamis, 17 Maret 2011

Iran Luncurkan Uji Coba Kapsul Antariksa


FARS NEWS
Roket peluncur satelit buatan Iran yang diberi nama Safir (duta besar) sebelum diluncurkan Minggu (17/8/2009).

Riset antariksa Iran mencapai satu langkah lebih maju dengan keberhasilannya meluncurkan uji coba kapsul antariksa. Kapsul tersebut dirancang untuk misi berawak di masa mendatang.

Kantor berita Iran IRNA, Kamis (17/3/2011), menyatakan, kapsul tersebut sukses diluncurkan dengan roket buatan Iran Kavoshgar-4 atau berarti penjelajah 4, Selasa lalu. Wahana tersebut mengorbit Bumi pada ketinggian sekitar 120 km.

Peluncuran ini merupakan bagian dari ambisi Iran untuk menguasai teknologi penjelajahan luar angkasa. Namun, terobosan Iran tersebut masih dicurigai Barat sebagai usaha pengembangan rudal antarbenua yang akan dijadikan senjata Iran memerangi negara lain, khususnya Israel.

Tahun lalu, Iran untuk pertama kalinya mengklaim berhasil meluncurkan satelit dengan roket buatan sendiri. Iran juga mengkalim berhasil meluncurkan roket keluar angkasa yang membawa tikus, kura-kura, dan cacing sebagai bagian riset biologi di luar angkasa

Rabu, 16 Maret 2011

Menit - Menit Awal Alam Semesta

Seperti diketahui, Big Bang atau Dentuman besar merupakan sebuah kejadian yang memicu terbentuknya alam semesta. Tapi meskipun demikian, informasi akan apa yang terjadi di era Nukleosintesis Dentuman Besar ketika alam semesta baru berusia beberapa detik sampai beberapa menit belumlah benar-benar diketahui.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengetahui apa yang terjadi dahulu? Jelas tidak mungkin jika manusia pergi ke masa itu, namun ekstrapolasi hukum fisika bisa membawa manusia untuk menelusuri kembali apa yang terjadi sekarang sampai ke waktu terjadinya nukleosintesa. Penelusuran itu bisa berlanjut lebih jauh ke masa lalu untuk memberi susunan dan gambaran akan apa yang sebenarnya terjadi di masa awal alam semesta. Tapi sejauh mana bisa berekstrapolasi menuju singularitas masih menjadi perdebatan tapi disepakati waktunya tidak lebih awal dari epoh Planck atau 10-43 detik.

Dentuman Besar

Ilustrasi saat dentuman besar atau big bang terjadi. kredit : Particle Physics Laboratory, Annecy-le-Vieux, France

Saat alam semesta didominasi oleh materi dan radiasi, gaya tarik gravitasi antara seluruh partikel cenderung memperlambat laju pengembangan alam semesta. Hal berbeda terjadi ketika alam semesta masih lebih kecil dan rapat. Saat itu, laju pengembangan besarnya tidak terbatas. Titik inilah yang disebut singularitas yang mengacu pada Dentuman Besar.

Dentuman besar merupakan titik awal proses pengembangan alam semesta. Sekitar 13,7 milyar tahun lalu, bagian alam semesta yang bisa dilihat sebenarnya hanya beberapa milimeter dan untuk sampai ke kondisi sekarang terjadi pengembangan dari kondisi yang panas dan rapat mejadi alam semesta yang luas dan lebih dingin.

Dua pilar utama yang membangun model dentuman besar adalah teori relativitas umum Einstein dan prinsip kosmologi

Dalam teori yang diajukan Einstein, dinyatakan bahwa teori gravitasi Newton hanya bekerja pada benda diam atau benda yang bergerak sangat lambat dibanding kecepatan cahaya. Dalam kasus relativitas umum, gravitasi tidak lagi digambarkan sebagai medan gravitasi melainkan sebagai kelengkungan ruang-waktu. Di sini terdapat hubungan antara massa-waktu dan massa-energi yang saling mempengaruhi. Distribusi massa-energi menentukan bentuk kelengkungan ruang-waktu dan kelengkungan ruang-waktu mempengaruhi bagaimana massa-energi bergerak di dalamnya. Fisikawan John Wheeler menggambarkan dengan baik saat berkata, “Materi memberitahu ruang-waktu bagaimana untuk melengkung dan ruang-waktu memberitahu materi bagaimana untuk bergerak”.

Setelah Relativitas Umum diperkenalkan, sejumlah ilmuwan termasuk Einstein, berusaha untuk menerapkan dinamika gravitasi yang baru ini pada alam semesta secara keseluruhan.

Pada saat itu, untuk menerapkan dinamika tersebut membutuhkan asumsi mengenai bagaimana materi di alam semesta terdistribusi. Asumsi sederhananya, jika kita melihat isi alam semesta, maka ia akan tampak sama dimanapun dan sama disetiap arah. Dengan kata lain prinsip kosmologi menyatakan bahwa dalam skala besar, alam semesta berada dalam keadaan homogen dan isotropi serta pengamat tidak berada pada posisi yang istimewa di alam semesta. Homogen memberi arti dimanapun pengamat berada di alam semesta ia akan mengamati hal yang sama. Sedangkan isotropi artinya ke arah manapun pengamat memandang ia akan melihat hal yang sama. Dengan demikian tidak ada tempat istimewa di alam semesta. Model ini menyatakan bahwa alam semesta seharusnya mengembang dalam jangka waktu berhingga, dimulai dari keadaan yang sangat panas dan padat.

Era Nukleosintesis Dentuman Besar
Era nukleosintesis Dentuman Besar dimulai satu menit setelah terjadinya Dentuman Besar saat alam semesta cukup dingin untuk membentuk proton dan netron setelah bariogenesis.

Nukleosintesa mengacu pada pembentukan elemen berat, inti atom dengan banyak proton dan netron dari reaksi fusi elemen ringan. Teori Dentuman Besar memberi prediksi kalau alam semesta sangat dini merupakan tempat yang luar biasa panas. Satu detik setelah Dentuman Besar, temperatur alam semesta hampir 10 milyar derajat dan terisi oleh lautan netron, proton, elektron, anti-elektron (positron), foton dan nutrino. Ketika alam semesta mendingin, netron akan meluruh menjadi proton dan elektron atau bergabung dengan proton membentuk deutrium (isotop hidrogen). Pada saat 3 menit awal di alam semesta, deutrium bergabung membentuk helium. Didapati juga jejak sejumlah lithium yang terbentuk pada masa ini. Perisitiwa ini berlangsung sekitar 17 menit, sampai temperatur alam semesta turun sedemikian rupa, sehingga tidak tersedia cukup energi yang memungkinkan peristiwa ini untuk terus terjadi. Nah, proses pembentukan elemen ringan di alam semesta dini inilah yang disebut Nukleosintesa Dentuman Besar.

Ciri lain alam semesta yang juga tidak biasa adalah keteraturannya – dalam hal ini distribusi galaksi seragam dalam skala besar dan latar belakang gelombang mikro menunjukan bukti kuat kalau materi terdistribusi lebih teratur di masa yang awal. Keseragaman ini tidak biasa karena simpangan kecil cenderung bertumbuh seiring waktu saat area yang sangat padat runtuh membentuk bintang dan galaksi. Tapi kecepatan cahaya yang terbatas justru memberi kejutan yang lain.

CMB (cosmic microwave background/ latar belakang gelombang mikro kosmik), menunjukan rupa alam semesta setelah 370000 tahun setelah Dentuman Besar. Dan setelah diamati bagian-bagian CMB secara terpisah, tampak juga area alam semesta yang terpisah lebih dari 370000 tahun cahaya. Dengan kata lain, waktu yang ada tidak cukup bagi sinyal berpindah dari satu area ke area lainnya. Pertanyaannya bagaimana area yang terpisah tersebut tahu bahwa mereka harus memiliki temperatur yang sama? Bagaimana mereka berkomunikasi? Inilah yang disebut sebagai masalah horison.

Horison secara sederhana bisa disebut sebagai batas pandang terhadap sesuatu yang bisa diamati dan yang belum diamati. Alam semesta memiliki usia yang terbatas (13,7 milyar tahun) sehingga pengamat hanya bisa melihat pada jarak yang terbatas di angkasa yakni 13,7 milyar tahun. Model Dentuman Besar tidak memberi gambaran area di angkasa yang berada diluar horison pengamat , yang bisa saja memiliki ruang waktu yang berbeda.

Inflasi
Masalah horison punya solusi yang cukup populer dan diterima. Ide yang disebut sebagai inflasi. Bayangkan kalau di masa awal, alam semesta harus melewati periode dimana sesaat lamanya ia didominasi oleh sejumlah besar energi gelap, yang kemudian secara tiba-tiba meluruh menjadi materi dan radiasi. Peningkatan energi gelap ini menyebabkan alam semesta mengalami percepatan dengan laju yang sangat fantastik dan mengembang secara eksponensial dalam waktu singkat. Bahkan satu kedipan matapun lebih lambat dari inflasi alam semesta. Inflasi terjadi dalam waktu kurang dari 1 detik dari 10–36 - 10–32 detik. Akibatnya titik-titik di alam semesta yang tadinya berdekatan, berpisah dengan cepat. Jadi area yang terpisah jauh dan diamati di CMB sebenarnya bertetangga dan saling kontak di masa awal.

Inflasi atau alam semesta mengembang dnegan laju eksponensial

Inflasi diperlukan untuk memecahkan masalah kurvatur alam semesta maupun masalah horizon. Dengan adanya inflasi maka horizon alam semesta bisa diperbesar sampai keadaan dimana partikel-partikel berada dalam lingkup horizon dan bisa slaing berkomunkiasi. Selain itu dengan pengembangan alam semesta secara tiba-tiba (eksponensial) maka setelah alam semesta mengalami inflasi, setelah itu ia akan mengembang mengikuti model standar dan pada akhirnya bisa mencapai keadaan saat ini. Tanpa inflasi evolusi alam semesta mungkin sudah mencapai masa akhirnya (kehancuran besar untuk alam semesta tertutup) atau kondisi dimana temperatur alam semesta mencapai suhu 3 K terjadi jauh sebelum sekarang.

Tapi yang masih menjadi pertanyaan adalah, sampai saat ini tidak ada model spesifik dari inflasi. Dengan kata lain, belum diketahui energi gelap seperti apa yang mendominasi alam semesta di masa awal ataupun bagaimana energi gelap itu berubah menjadi materi dan radiasi. Inflasi memang menjadi jawaban dari beberapa pertanyaan namun tetap rasa ingin tahu tentang asal usul alam semesta maupun apa yang memicu terjadinya inflasi masih terus ada dan menjadi PR bagi para kosmolog untuk menjawabnya.

Geminids, dari mana asalmu ?

Setiap hari Bumi diguyuri batuan dari antariksa dalam kuantitas yang cukup besar. Astronom Linda Elkis T. Tanton menuturkan sebanyak 55 hingga 216 juta ton batuan antariksa menerobos atmosfer Bumi per hari, yang jika dikumpulkan di satu tempat bisa membentuk sebuah bukit.

Citra komposit instrumen kamera HI–1 STEREO–A pada 17–22 Juni 2009. Lingkaran putih menunjukkan posisi 3200 Phaethon yang terekam dari waktu ke waktu. Busur putih di sisi kiri menunjukkan posisi radius 0,14 SA dari Matahari (jarak perihelion Phaethon). Busur putih tersebut menjadi dasar kerucut yang berpuncak di Matahari (tidak diperlihatkan) dengan sisi–sisi berupa sepasang garis putih. Kerucut ini membatasi area dimana aktivitas pita koronal Matahari berskala besar terjadi pada 20 Juni 2009 pukul 15:49 WIB. Kredit foto : Jewitt & Ling

Batu–batu itu terpanaskan demikian hebat ketika bergesekan dengan molekul–molekul udara sehingga membara sebagai meteor dan mayoritas diantaranya menguap di atmosfer. Sebagian diantaranya merupakan meteoroid yang semula adalah debu terhambur dari komet akibat tekanan radiasi angin Matahari kala benda langit ini bergerak mendekati titik perihelion orbitnya.

Kita di Bumi menyaksikan meteor sisa komet ini seolah–olah muncul dari satu titik dalam sebuah konstelasi bintang tertentu dengan intensitas cukup tinggi yang bisa mencapai puluhan meteor per jam, yang dikenal sebagai hujan meteor periodik (showers). Hujan meteor periodik senantiasa dinanti pecinta langit, sebab memiliki jadwal kedatangan relatif tetap setiap tahunnya dan sanggup menyajikan panorama langit nan spektakuler. Hujan meteor Leonids di tahun 1966 dan 1998 misalnya, demikian menggetarkan siapapun yang melihatnya oleh panorama melintasnya sekitar 100 ribu meteor di langit setiap jamnya.

Di antara sesama hujan meteor periodik, Geminids adalah nama yang kian menanjak popularitasnya khususnya sepanjang tiga dekade terakhir. Berbeda dengan Leonids yang fluktuatif dengan intensitas rata–rata 10 meteor perjam di setiap tahunnya kecuali dalam kurun 33 tahun sekali, maka Geminids yang muncul setiap awal hingga pertengahan bulan Desember tergolong hujan meteor konstan berintensitas besar dimana ZHR (zenith hourly rate)–nya mencapai 120 meteor/jam dengan kecepatan 35 km/detik. Ini sedikit lebih besar dibanding hujan meteor Perseids yang tak kalah populernya dan muncul setiap akhir bulan Juli hingga akhir bulan Agustus, yang konstan pada ZHR 110 meteor/jam dengan kecepatan 59 km/detik. Bedanya, jika meteor Perseids bersumber dari debu–debu komet periodik 109 P/Swift–Tuttle, apa yang menjadi sumber meteor Geminids masih berselubung teka–teki. Keunikan lainnya, Geminids acapkali memproduksi fireball, yakni meteor yang sangat cemerlang sehingga bisa menyamai kecerlangan planet Venus (magnitude visual –4).

Misi antariksa IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) yang diluncurkan pada awal dekade 1980–an sempat menyodorkan peluang guna menjawab teka–teki sumber Gemidis. Astronom Simon F. Green dan John K. Davies yang menganalisis citra IRAS 11 Oktober 1983 berhasil mengidentifikasi adanya asteroid redup 3200 Phaethon (1983 TB) sebagai pengorbit Matahari pada lintasan lonjong dengan perihelion 0,14 SA; aphelion 2,4 SA; periode 1,432 tahun; eksentrisitas 0,89 dan inklinasi 22,2°. Inilah asteroid pertama yang terdeteksi lewat observasi landas Bumi.

Orbit Phaethon sangat lonjong sehingga tergolong pelintas Mars, Bumi, Venus dan Merkurius. Perihelionnya jauh lebih dekat ke Matahari dibanding perihelion Merkurius sementara aphelionnya jauh melambung di kawasan Sabuk Asteroid Utama. Yang mengejutkan, karakteristik orbit Phaethon ternyata sesuai dengan meteor Geminids seperti ditunjukkan oleh kriteria Drummond. Padahal sebelumnya diketahui sumber sebuah hujan meteor periodik selalu berhubungan dengan sebuah komet tertentu. Observasi demi observasi selanjutnya kian menegaskan status Phaethon sebagai asteroid, dengan diameter 5 km dan albedo 5 + 1 % tanpa adanya tanda–tanda pelepasan massa dari permukaannya entah sebagai gas atau debu. Phaethon tergolong asteroid langka sebab secara optis nampak biru dimana hanya 4 % populasi asteroid yang demikian.

Eksistensi Phaethon tidak lantas membuat teka–teki Geminids terselesaikan. Sebaliknya, Phaethon justru memancing perdebatan baru akan kemampuan asteroid sebagai sumber hujan meteor. Asteroid memang merupakan sumber meteor, namun berupa meteor spontan yang sifatnya random dan tak terjadwal. Komposisi asteroid sangat berbeda dengan komet, sebab merupakan bongkahan atau butir–butir batuan yang tidak mengandung unsur–unsur volatil pada keraknya seperti air, karbondioksida, sianogen, metana dan gas–gas lain yang acapkali ditemukan pada komet.

Penemuan demi penemuan asteroid yang mirip seperti 4015 Wilson–Harrington, 7968 Elst–Pizzaro dan 2201 Oljato kian memanaskan perdebatan, sebab asteroid–asteroid tadi memiliki sifat yang hanya dimiliki komet seperti bentuk ekor maupun refleksi ultraviolet nan tinggi, namun tidak menampakkan aktivitas lainnya seperti coma maupun emisi gas–gas tertentu. Sempat muncul hipotesis aktivitas mirip komet dari asteroid–asteroid tersebut adalah emisi debu hasil tumbukan dengan sesama asteroid lainnya. Belakangan hipotesis ini menemukan bukti awalnya saat Hubble Space Telescope menyajikan hasil observasi komet P/2010 A2, yang semula diidentifikasi sebagai komet periodik namun ternyata adalah asteroid yang baru saja ditumbuk sesamanya.

Dengan demikian apakah Geminids berasal dari tumbukan asteroid Phaethon dengan sesamanya, yang membuat keraknya terhambur ke angkasa sebagai remah–remah batuan halus? Dengan densitas 2,5 gram/cc dan asumsi diameter efektif 5 km maka Phaethon memiliki massa 1,6 x 1014 kg. Sedangkan massa Geminids diindikasikan 1012 hingga 1013 kg, sehingga ekstrapolasinya bagi Phaethon setara dengan pelolosan massa kerak setebal 5–50 meter. Perhitungan sederhana tersebut memperlihatkan Geminids bisa saja berasal dari Phaethon. Argumen ini seakan menemukan buktinya menyusul penemuan asteroid 2005 TD. Asteroid bergaris tengah 1,3 km itu secara optis dan dinamis sama karakteristiknya dengan Phaethon.

Belakangan diketahui asteroid 1999 YC juga memiliki karakteristik dinamis yang sama dengan Phaethon, meski secara optis tidak. Penemuan demi penemuan ini membuat sejumlah astronom berspekulasi bahwa Phaethon, 2005 TD dan 1999 YC mungkin adalah bongkahan–bongkahan besar yang tersisa dari tumbukan terhadap terhadap asteroid Pallas (garis tengah 544 km) yang saat ini menghuni kawasan Sabuk Asteroid Utama. Kemungkinan ini ditunjang oleh pemodelan numeris Bottke dkk (2002) yang memperlihatkan asosiasi Phaethon dengan anggota Sabuk Asteroid Utama bagian dalam dengan probabilitas hingga 80 %.

Namun spekulasi ini dimentahkan oleh umur Phaethon dan posisi sumber Geminids. Phaethon diindikasikan telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun silam, sehingga tumbukan yang memecahbelah Pallas sekurang–kurangnya terjadi 26 juta tahun lalu. Sebaliknya Geminids merupakan hujan meteor berusia muda, dimana model numerik dengan memasukkan efek tekanan radiasi dan gangguan gravitasi antar planet mengindikasikan meteoroid–meteoroid Geminids terbentuk 600 hingga 2.000 tahun silam.

Geminids sendiri baru mulai teramati sejak 1,5 abad terakhir, tepatnya sejak tahun 1865. Astronom NASA William Cooke menuturkan, analisis lebih teliti terhadap sumber Geminids menyimpulkan meteoroid itu bersumber dari lingkungan sangat dekat dengan Matahari, bukan jauh di kedalaman Sabuk Asteroid Utama. Sehingga sumber Geminids terlokalisir di Phaethon sendiri khususnya perilakunya pada titik perihelionnya, bukan sebagai hasil tumbukan yang diduga telah memecahkan Pallas jutaan tahun silam. Untuk itu observasi terhadap dinamika optis Phaethon saat berada di titik perihelionnya mutlak diperlukan.

Observasi terlaksana ketika Phaethon menempati titik perihelionnya pada 20 Juni 2009. Dalam posisi itu Phaethon berada dalam lingkup medan pandang satelit pengamat Matahari STEREO, meski dari sepasang satelit STEREO hanya satu saja (yakni STEREO–A) yang berhasil mengidentifikasi pergerakan Phaethon khususnya lewat instrumen kamera SECCHI HI–1 pada rentang waktu 17–22 Juni 2009. Analisis pendahuluan mengidenfitikasi adanya peningkatan kecerlangan Phaethon secara dramatis, fenomena yang mengejutkan sebab selama ini hanya bisa teramati di komet.

Tertarik akan fenomena ini maka David Jewitt dan Jing Li, keduanya astronom University California of Los Angeles, memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ternyata benar, Phaethon memang mengalami peningkatan kecerlangan yang spektakuler hingga 2 magnitude (6 kali lipat) dari sebelumnya saat di perihelionnya. Namun pada saat yang sama aktivitas Matahari sedang mengalami sedikit lonjakan yang ditandai terdeteksinya pita koronal berskala besar meski tidak sempat berkembang menjadi pelepasan massa (coronal mass ejection).

Perbandingan peningkatan kecerlangan pada Phaethon (kurva atas) dengan langit latar belakang (kurva bawah) yang disebabkan oleh lonjakan kecil aktivitas Matahari. Sekilas kedua kurva nyaris identik, namun kurva bawah mulai menanjak menuju puncak 12 jam sebelum kurva atas mengalami hal serupa. Ini mengindikasikan kecerlangan Phaethon tidak dipengaruhi oleh lonjakan aktivitas Matahari. Kredit foto : Jewitt & Ling

Analisis secara hati–hati memperlihatkan peningkatan kecerlangan Phaethon tidak berhubungan dengan lonjakan aktivitas Matahari karena lonjakan tersebut sudah terjadi sejak 12 jam sebelumnya. Kecerlangan Phaethon juga tidak berhubungan dengan stimulasi oleh hantaman partikel bermuatan dari angin Matahari ke permukaan Phaethon. Pun demikian, kecerlangan Phaethon bukanlah emisi fluoresensi oleh interaksi foton sinar–X maupun ultraviolet Matahari dengan permukaan Phaethon. Kecerlangan tersebut berhubungan dengan hamburan sinar Matahari dari partikel debu yang diemisikan Phaethon ke lingkungan. Namun dengan posisi Phaethon demikian dekat terhadap Matahari, aktivitas pelepasan debu tersebut tidak mungkin digerakkan oleh sublimasi air dari padat ke uap, maupun oleh gas–gas volatil lainnya. Dalam jarak 0,14 SA dari Matahari, sisi Phaethon yang menghadap ke Matahari akan memiliki suhu 470o C hingga 780o C. Dengan perkiraan Phaethon telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun lalu maka panas yang diterima permukaannya dikonduksikan secara kontinu ke interior Phaethon sehingga suhu inti bisa mencapai 30o C. Secara keseluruhan disimpulkan kala Phaethon berada di perihelionnya, ia menjadi benda langit yang terlalu panas sehingga tak mungkin air berbentuk es bisa eksis.

Apparent magnitude Phaethon terhadap sudut fase dibandingkan benda langit hipotetik di posisi Phaethon yang memiliki fungsi sudut fase seperti terukur di Bulan (kurva merah) dan inti komet Tempel (kurva hitam). Nampak Phaethon mengalami lonjakan apparent magnitude hingga +2,0 (6 kali lipat) dari semula, yang tidak terjadi pada benda–benda langit hipotetik tersebut. Ini menunjukkan adanya perubahan karakteristik permukaan Phaethon secara mendadak di perihelionnya sehingga diikuti peningkatan kecerlangan. Kredit foto : Jewitt & Ling

Pemodelan Jewitt dan Ling memperlihatkan pelepasan debu dari permukaan Phaethon salah satunya disebabkan oleh pemecahan mineral terhidrat. Sebagai fragmen Pallas, Phaethon tergolong asteroid tipe C yang kaya mineral terhidrat seperti filosilikat (lempung). Di Bumi, terpecahnya lempung bisa ditemukan pada lapangan–lapangan berlumpur yang dipanggang terik Matahari, sehingga terjadi penyusutan yang membentuk retakan–retakan di permukaannya. Proses yang sama diduga terjadi di Phaethon. Selain itu produksi debu juga disebabkan oleh pemuaian badan Phaethon akibat tekanan interior yang dikontrol oleh perbedaan suhu siang dan malam yang dramatis. Dengan periode rotasi 3,6 jam dan variasi suhu siang–malam Phaethon sebesar 230o C didapatkan tekanan interior Phaethon mencapai 500–5.000 bar, jauh lebih tinggi dibanding batas tekanan yang bisa diterima batuan sebelum terpecah yakni 100 bar.

Profil kecerlangan permukaan Phaethon sebelum dan sesudah mengalami peningkatan kecerlangan, masing–masing ditandai dengan lingkaran hitam dan putih. Nampak bahwa hingga 100 detik busur dari pusat Phaethon, terdeteksi adanya perbedaan kecerlangan antara sebelum dan sesudah peningkatan kecerlangan, sementara pada radius lebih dari 100 detik busur tidak teramati. Kredit foto : Jewitt & Ling,

Jewitt dan Ling juga memperlihatkan, tiadanya uap air dan gas–gas lainnya membuat debu Phaethon hanya sanggup terlepas dari permukaan lewat tekanan radiasi foton Matahari. Namun tekanan radiasi hanya sanggup mendorong partikel–partikel debu yang diameter maksimumnya 1 mm. Fenomena pelepasan debu Phaethon membuat Jewitt dan Ling mengusulkan perlunya klasifikasi baru bagi komet, yakni komet batu, yang mengemisikan debu dari permukaannya lewat kombinasi dekomposisi dan peretakan batuan di bawah lingkungan suhu tinggi tanpa sedikitpun melibatkan air maupun gas–gas volatil lainnya. Dengan debu 1 mm, Phaethon mengemisikan 2,5 x 108 kg debu setiap kali mencapai perihelionnya. Jumlah ini sangat kecil karena bila dibandingkan massa meteoroid Geminids, secara kasar bisa dikatakan bahwa dalam setiap 10 ribu partikel meteoroid Geminids hanya sebutir yang beasal dari Phaethon. Dengan kata lain emisi debu Phaethon hanyalah komponen minor dalam meteoroid Geminids.

Pertanyaan mengenai asal–usul sumber Geminids memang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini. Geminids berasal dari lingkungan di dekat Matahari, namun hanya sebagian sangat kecil saja yang berasal dari emisi debu Phaethon di titik perihelionnya. Dan kini muncul klasifikasi baru : komet batu, dimana Phaethon adalah anggota pertamanya.

Bagaimana membuktikan bahwa Bumi mengelilingi Matahari, dan bukan sebaliknya ?

Pada awal perkembangan sains, orang-orang seperti Copernicus, Kepler, Galileo & Newton berpendapat bahwa alangkah lebih baik (untuk menjelaskan), lebih mudah (secara matematika) & lebih elegan (secara filosofis) bahwa Matahari berada di pusat, sementara Bumi & planet-planet berputar mengelilingi Matahari. Semua punya penjelasan yang memuaskan, secara teori untuk mengatakan hal itu.

Sampai sekarang, pelajaran SMU fisika pun memberikan penjelasan yang jelas & memuaskan, bahwa memang demikian ada-nya. Massa matahari yang jauh lebih besar daripada planet-planet membuat planet-planet harus tunduk pada ikatan gravitasi Matahari, sehingga planet-planet tersebut bergerak mengitari Matahari sebagai pusat. Demikian dari hukum Gravitasi Newton.

Perumusan matematika-nya secara gamblang dan jelas dijelaskan oleh perumusan Kepler, hanya karena Matahari yang menjadi pusat sistem.

Kalau memang begitu ada-nya dan tidak percaya, bagaimana membuktikannya? Gampang, terbang saja jauh-jauh dari sistem tata surya ke arah kutub, dan lihatlah bagaimana Bumi beserta planet-planet bergerak mengitari Matahari. Tentu saja ini adalah pernyataan yang bersikap humor. Tapi ini memang menjadi pertanyaan penting, bagaimana membuktikannya?

Bapak-bapak yang telah disebutkan tadi, tentu saja mempunyai pendapat yang berlaku sebagai hipotesa, dan harus bisa dibuktikan melalui pembuktian yang teramati/eksperimentasi. Apabila eksperimen berkesesuaian dengan hipotesa, maka hipotesa diterima dan itu menjadi teori. Bukankah demikian?

Baik, sekarang bagaimana membuktikannya? Satu-satu-nya cara membuktikan fenomena langit adalah melalui ilmu astronomi, yaitu ketika pengamatan dilakukan pada benda-benda langit lalu memberikan penjelasan ilmiah tentang apa yang sebenar-nya terjadi disana.

Tentu tidaklah mudah memberikan bukti yang langsung bisa menjelaskan secara cespleng bahwa Bumi berputar mengitari Matahari, bukankah lebih mudah mengatakan kebalikannya? Tapi seperti yang telah disampaikan, itu akan menjadi tidak baik, tidak mudah dan tidak elegan untuk menyatakan demikian. Ternyata dari pengamatan astronomi menunjukkan bahwa memang Bumi yang mengitari Matahari. Tidak percaya?

Bukti pertama, adalah yang ditemukan oleh James Bradley (1725). Pak Bradley menemukan adanya aberasi bintang.

Apa itu aberasi bintang? Bayangkan kita sedang berdiri ditengah-tengah hujan, dan air hujan jatuh tepat vertikal/tegak lurus kepala kita. Kalau kita menggunakan payung, maka muka & belakang kepala kita tidak akan terciprat air bukan? Kemudian kita mulai berjalan ke depan, perlahan-lahan & semakin cepat berjalan, maka seolah-olah air hujan yang tadi jatuh tadi, malah membelok dan menciprati muka kita. Untuk menghindari-nya maka kita cenderung mencondongkan payung ke muka. Sebetulnya air hujan itu tetap jatuh tegak lurus, tetapi karena kita bergerak relatif ke depan, maka efek yang terjadi adalah seolah-olah membelok dan menciprat ke muka kita.

Demikian juga dengan fenomena aberasi bintang, sebetulnya posisi bintang selalu tetap pada suatu titik di langit, tetapi dari pengamatan astronomi, ditemukan bahwa posisi bintang mengalami pergeseran dari titik awalnya, pergeseran-nya tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menunjukkan bawha memang sebenar-nya lah bumi yang bergerak.

Mari kita tinjau Gb.1.

Efek Aberasi Bintang

Aberasi terjadi jika pengamat adalah orang yang berdiri ditengah hujan, dan arah cahaya bintang adalah arah jatuhnya air hujan. Kemudian pengamat bergerak tegak ke muka, tegak lurus arah jatuhnya hujan. S menyatakan posisi bintang, E posisi pengamat di Bumi. Arah sebenarnya bintang relatif terhadap pengamat adalah ES, jaraknya tergantung pada laju cahaya. Kemudian Bumi BERGERAK pada arah EE’ dengan arah garis merepresentasikan lajunya. Ternyata pengamatan menunjukkan bahwa bintang berada pada garis ES’ alih-alih ES, dengan SS’ paralel & sama dengan EE’. Maka posisi tampak binang bergeser dari posisi sebenarnya dengan sudut yang dibentuk antara SES’.Jika memang Bumi tidak bergerak, maka untuk setiap waktu, sudut SES’ adalah 0, tetapi ternyata sudut SES’ tidak nol. Ini adalah bukti yang pertama yang menyatakan bahwa memang Bumi bergerak.

Bukti kedua adalah paralaks bintang. Bukti ini diukur pertama kali oleh Bessel (1838). Paralaks bisa terjadi jika posisi suatu bintang yang jauh, seolah-olah tampak ‘bergerak’ terhadap suatu bintang yang lebih dekat. (Gb.2). Fenomena ini hanya bisa terjadi, karena adanya perubahan posisi dari Bintang akibat pergerakan Bumi terhadap Matahari. Perubahan posisi ini membentuk sudut p, jika kita ambil posisi ujung-ujung saat Bumi mengitari Matahari. Sudut paralaks dinyatakan dengan (p), merupakan setengah pergeseran paralaktik bilamana bintang diamati dari dua posisi paling ekstrim.

Paralaks Bintang

Bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena ini? Ini hanya bisa dijelaskan jika Bumi mengitari Matahari, dan bukan kebalikannya.Bukti ketiga adalah adanya efek Doppler.

Sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Newton, bahwa ternyata cahaya bisa dipecah menjadi komponen mejikuhibiniu, maka pengetahuan tentang cahaya bintang menjadi sumber informasi yang sahih tentang bagaimana sidik jari bintang (baca tulisan saya tentang ‘fingerprint of the star’) . Ternyata pengamatan-pengamatan astronomi menunjukkan bahwa banyak perilaku bintang menunjukkan banyak obyek-obyek langit mempunyai sidik jari yang tidak berada pada tempat-nya. Bagaimana mungkin? Penjelasannya diberikan oleh Bpk. Doppler (1842), bahwa jika suatu sumber informasi ‘bergerak’ (informasi ini bisa suara, atau sumber optis), maka terjadi ‘perubahan’ informasi. Kenapa bergeraknya harus tanda petik? Ini bisa terjadi karena pergerakannya dalah pergerakan relatif, apakah karena pengamatnya yang bergerak? Atau sumber-nya yang bergerak?

Demikian pada sumber cahaya, jika sumber cahaya mendekat maka gelombang cahaya yang teramati menjadi lebih biru, kebalikannya akan menjadi lebih merah. Ketika Bumi bergerak mendekati bintang, maka bintang menjadi lebih biru, dan ketika menjauhi menjadi lebih merah.

Disuatu ketika, pengamatan bintang menunjukkan adanya pergeseran merah, tetapi di saat yang lain, bintang tersebut mengalami pergeseran Biru. Jadi bagaimana menjelaskannya? Ini menjadi bukti yang tidak bisa dibantah, bahwa ternyata Bumi bergerak (bolak-balik – karena mengitari Matahari), mempunyai kecepatan, relatif terhadap bintang dan tidak diam saja.

Dengan demikian ada tiga bukti yang mendukung bahwa memang Bumi bergerak mengitari matahari, dari aberasi (perubahan kecil pada posisi bintang karena laju Bumi), paralaks (perubahan posisi bintang karena perubahan posisi Bumi) dan efek Doppler (perubahan warna bintang karena laju Bumi).

Tentu saja bukti-bukti ini adalah bukti-bukti ILMIAH, dimana semua pemaknaan, pemahaman dan perumusannya mempergunakan semua kaidah-kaidah ilmiah, masuk akal dan ber-bobot kebenaran ilmiah. Apakah memang demikian adanya? Seperti yang ungkapkan, sampai detik ini belum ada teknologi yang bisa membuat kita bisa terbang jauh-jauh ke luar angkasa, sedemikian jauhnya sehingga bisa melihat memang begitulah yang sebenarnya. Tetapi, pembuktian metode ilmiah selama ini cukup sahih untuk menjawab banyak ketidak-pahaman manusia tentang posisi-nya di alam. Dan bukti-bukti yang telah disebutkan tersebut cukup untuk menjadi landasan untuk menjawab bahwa memang Bumi mengitari Matahari; dari pengetahuan Bumi mengitari Matahari, banyak hal-hal yang telah diungkap tentang alam semesta ini, sekaligus menjadi landasan untuk mencari jawab atas banyak hal yang belum bisa dijawab pada saat ini.

Matahari, Bintang Terbaik Yang Kita Miliki

Matahari kita adalah sebuah bintang, yaitu bola gas panas raksasa yang mengeluarkan energi dan cahaya. Ukurannya begitu besar dibandingkan dengan Bumi dan planet-planet lainnya. Namun sebenarnya, Matahari termasuk bintang yang ukurannya biasa saja. Masih banyak bintang lain yang berukuran jauh lebih besar ataupun jauh lebih kecil darinya. Tetapi tetap saja Matahari adalah satu bintang yang sangat istimewa bagi manusia, Bumi, dan tata surya kita.

Matahari memiliki diameter 1,4 juta km dan massa 1,9 x 10^30 kg. Di galaksi Bimasakti, ukuran sebesar ini termasuk dalam 10% yang terbesar. Jauh lebih banyak bintang dengan ukuran dan massa yang lebih kecil (yang terbanyak adalah bintang dengan massa setengah massa Matahari).

Matahari (Sumber: wikipedia)

Matahari (Sumber: wikipedia)

Matahari adalah bintang deret utama dengan kelas G2. Materi penyusunnya adalah hidrogen sebanyak 70%, helium 28%, dan sisanya unsur berat lain. Permukaannya (fotosfer) bersuhu 5.800 K, sedangkan di bagian pusat suhunya mencapai 15 juta K. Cahaya Matahari yang berwarna putih kekuningan yang bisa kita lihat berasal dari lapisan fotosfer. Di lapisan ini terdapat banyak kejadian menarik, di antaranya adalah bintik Matahari, granulasi, prominensa, dan filamen. Di bagian luar terdapat atmosfer yang disebut korona. Bagian ini memiliki temperatur 5 juta K. Karena terangnya fotosfer, kita tidak dapat mengamati korona kecuali ketika terjadi gerhana Matahari total.

Sebagai sebuah bintang, Matahari memiliki pabrik pembangkit energi yang sangat aktif di bagian pusatnya. Di bagian yang kerapatannya sangat tinggi ini (150 kali kerapatan air), atom-atom hidrogen bereaksi membentuk helium dalam serangkaian reaksi. Reaksi penggabungan (fusi) ini menghasilkan energi yang sangat besar, yaitu 386 miliar miliar juta watt. Setiap detiknya, sebanyak 700 juta ton hidrogen diubah menjadi 695 juta ton helium dan 5 juta ton energi dalam bentuk sinar gamma.

Korona Matahari terlihat ketika gerhana Matahari total (Sumber: wikipedia)

Korona Matahari terlihat ketika gerhana Matahari total (Sumber: wikipedia)

Bintik Matahari adalah suatu area gelap di fotosfer yang suhunya lebih rendah relatif terhadap sekitarnya (3800 K berbanding 5800 K). Keberadaannya bergantung pada aktivitas medan magnet di Matahari. Dan jumlahnya akan meningkat atau menurun secara periodik, setiap 11 tahun sekali. Jika jumlahnya sangat banyak, maka kita sebut Matahari sedang berada dalam masa aktif. Diperkirakan puncak dari keaktifan Matahari yang berikutnya akan terjadi pada tahun 2013 nanti. Mungkin kita sering mendengar hal ini dari isu kiamat 2012. Namun tentu saja keduanya tidak ada berkaitan.

Diagram penampang Matahari (Sumber: wikipedia)

Diagram penampang Matahari (Sumber: wikipedia)

Sebagaimana manusia, bintang juga lahir, tumbuh besar, lalu mati. Semakin besar massa sebuah bintang, maka kala hidupnya semakin singkat dan sebaliknya. Usia Matahari saat ini, atau sama dengan usia tata surya kita, adalah sekitar 4,57 milyar tahun. Diperkirakan Matahari masih akan terus seperti sekarang hingga 5 milyar tahun lagi. Setelah itu, Matahari akan memasuki fase raksasa merah (red giant). Disebut demikian karena ukurannya akan membesar hingga 250 kali lipat dan mungkin akan mencapai orbit Bumi (sejauh 150 juta km).

Diagram Evolusi Matahari (Sumber: wikipedia)

Diagram Evolusi Matahari (Sumber: wikipedia)

Evolusi seperti ini adalah hal yang biasa untuk bintang bermassa kecil dan menengah. Di akhir kehidupannya, Matahari tidak akan menjadi supernova dan lubang hitam karena evolusi tersebut hanya untuk bintang bermassa besar. Setelah tahap raksasa merah, kemudian Matahari akan melontarkan lapisan luarnya hingga membentuk planetary nebula. Bagian yang tersisa dari Matahari hanyalah intinya saja, yang disebut dengan bintang katai putih (white dwarf). Akhirnya ia akan mendingin secara perlahan hingga milyaran tahun.

Peran penting Matahari bagi masyarakat sudah tampak dari berbagai peradaban kuno. Di jaman Yunani kuno Matahari disebut dan dipuja sebagai dewa Helios. Sedangkan di jaman Romawi Matahari diperlakukan sama dengan sebutan Sol. Matahari juga berperan penting di tata surya kita. Massanya mencapai 99,86% dari massa total tata surya. Hal ini menunjukkan betapa Matahari sangat dominan. Ikatan gravitasinya membuat planet-planet dan benda lainnya di tata surya bergerak mengelilingi Matahari secara teratur. Dan Matahari pun mengajak seluruh tata surya untuk mengelilingi pusat galaksi Bimasakti dalam periode sekitar 220 juta tahun.

Cahaya yang dipancarkan Matahari sangat membantu kita dalam banyak hal. Selain memberikan panasnya di siang hari, informasi yang ada di dalam cahaya Matahari berperan besar dalam pengetahuan yang kita miliki sekarang tentang bintang-bintang di alam semesta. Dalam jarak yang tepat, cahayanya juga memberikan jaminan terhadap kebutuhan energi yang diperlukan dalam kehidupan di Bumi.

Spektrum Matahari juga berjasa dalam banyak hal. Dahulu, saat spektrum Matahari dipelajari pertama kali, manusia menemukan unsur helium. Unsur ini dinamakan demikian karena saat itu hanya ditemukan di Matahari. Dan dari spektrum inilah kita mengetahui bahwa Matahari dan bintang adalah benda yang sejenis.

Singkat kata, Matahari adalah benda percobaan terdekat bagi astronom di laboratorium alam semesta dalam meneliti bintang. Berbagai misi luar angkasa yang khusus meneliti Matahari telah dan akan diluncurkan demi mengenal Matahari lebih dekat, seperti Pioneer, Helios, SOHO, Genesis, Stereo, dan lain-lain.

Sejak tata surya terbentuk hingga sekarang, peran Matahari dalam mendukung kehidupan di Bumi sangatlah besar. Namun tidak selamanya akan berjalan begitu, karena dalam evolusinya Matahari akan memanas dan membesar. Saat itu, Matahari sudah tidak lagi mendukung kehidupan. Bahkan ia akan menelan dan menghancurkan Merkurius, Venus, dan kemudian Bumi. Akankah kehidupan di Bumi saat itu sudah berpindah ke planet lain? Atau mungkin ke planet di bintang lain, galaksi lain? Sebaiknya begitu, tetapi siapa yang tahu.

Merkurius, Planet Terkecil, Terdekat, dan Tercepat

Merkurius adalah planet terkecil di tata surya dan terdekat dari Matahari. Nama planet ini diambil dari nama dewa pengantar pesan jaman Romawi kuno. Ia diberi nama tersebut karena pergerakannya di langit yang sangat cepat.

Planet Merkurius (Sumber: Wikipedia)

Planet Merkurius (Sumber: Wikipedia)

Dari Bumi, Merkurius hanya bisa diamati secara visual pada jarak maksimum 28,3 derajat dari Matahari. Artinya, planet ini hanya terlihat di langit timur sebelum Matahari terbit atau di barat setelah Matahari terbenam. Dengan jarak sudut sekecil itu, kita hanya memiliki waktu maksimum selama 1 jam 53 menit saja untuk mengamati planet ini, yaitu pada saat Merkurius mencapai elongasi maksimalnya. Jadi, kita tidak akan pernah bisa melihat Merkurius berada di zenith (lihat gambar di bawah). Karena kemunculannya yang bergantian itu planet ini sempat diidentifikasi oleh masyarakat Yunani kuno sebagai 2 benda yang berbeda. Kala itu, Merkurius yang muncul di langit timur diberi nama Apollo dan yang muncul di langit barat diberi nama Hermes.

Jika kita berada di Merkurius, kita dapat menyaksikan Matahari bergerak retrograde di langit. Di satu lokasi, setelah terbit di timur dan sebelum melintasi meridian, Matahari akan sedikit bergerak mundur lalu kembali bergerak ke barat hingga terbenam. Begitu pula setelah Matahari terbenam, ia akan mengalami gerak retrograde sekali lagi (walaupun tidak dapat diamati). Akibatnya, satu hari di sana (sekali siang dan sekali malam) sama dengan 176 hari Bumi (sekitar 6 bulan). Silakan lihat sendiri dengan menggunakan program simulasi langit Stellarium.

Penyebab gerak retrograde Matahari itu berkaitan dengan periode revolusi dan rotasinya. Periode revolusi Merkurius adalah 88 hari Bumi, sedangkan periode rotasinya adalah 58,7 hari Bumi. Kita bisa lihat bahwa perbandingan periode rotasi dan revolusinya adalah 2/3. Artinya, planet ini menyelesaikan 2 kali revolusinya dalam waktu yang bersamaan dengan 3 kali rotasi.

Planet dalam jika dilihat dari Bumi (Sumber: Wikipedia)

Planet dalam jika dilihat dari Bumi (Sumber: Wikipedia)

Hubungan antara periode rotasi dan revolusi ini (disebut juga dengan resonansi) adalah hal yang unik di tata surya. Resonansi yang umum terdapat di tata surya adalah 1:1. Artinya, periode rotasi sama dengan periode revolusi. Misalnya pada sistem Pluto dan Charon, yang masing-masing memiliki periode rotasi yang sama dengan periode revolusi Charon terhadap Pluto. Akibatnya, Pluto dan Charon saling menunjukkan permukaan yang tetap. Bulan juga memiliki resonansi 1:1 karena periode rotasinya sama dengan periodenya mengelilingi Bumi. Kita tahu akibatnya, yaitu permukaan Bulan yang terlihat dari Bumi selalu tetap.

Ciri fisik
Planet batuan ini hanya berdiameter 4800 km. Ukuran ini lebih kecil dari Ganymede dan Titan, 2 satelit terbesar di tata surya. Tetapi Merkurius masih lebih masif dari keduanya. Dan kerapatannya 5,43 g/cm^3, menjadikannya benda dengan kerapatan tertinggi kedua di tata surya setelah Bumi. Ketebalan bagian inti planet ini lebih dominan relatif terhadap ukurannya, yaitu mencapai 60% dari massanya. Jaraknya dari Matahari antara 46 juta km hingga 70 juta km. Eksentrisitas orbitnya paling besar di antara semua planet, yaitu 0,21.

Inklinasi orbit Merkurius terhadap ekliptika adalah 7 derajat. Sudut kemiringan sumbu rotasinya terhadap sumbu revolusi mendekati nol, sekitar 0,027 derajat. Masih lebih kecil dari Jupiter yang sebesar 3,1 derajat. Dengan sudut sekecil itu, tidak ada 4 musim di Merkurius belahan utara dan selatan. Temperatur di permukaannya bervariasi antara 80 – 700 K.

Misi penerbangan ke Merkurius
Merkurius adalah salah satu objek yang sulit diamati, sehingga tidak banyak informasi yang bisa diperoleh darinya. Bahkan, periode rotasi planet ini baru diketahui benar pada tahun 1965 setelah Merkurius diamati dengan radar.

Pengiriman wahana untuk meneliti Merkurius dari dekat pun tidak mudah. Posisinya yang dekat dengan Matahari, ketiadaan atmosfer, dan perbedaan laju orbit adalah beberapa hal yang menyulitkan. Alhasil, hingga kini baru ada 1 misi yang sukses mengamati Merkurius, yaitu Mariner 10.

Wahana Mariner 10 diluncurkan pada 3 November 1973. Proses keberangkatannya yang memanfaatkan planet Venus (sebagai “ketapel” gravitasi) adalah yang pertama dilakukan dalam sejarah penerbangan antariksa. Ketika melintas di dekat Venus, wahana ini mengambil rekaman fotografi ultraungu dari planet itu. Walaupun Venus sudah pernah diamati dengan teleskop landas Bumi sebelumnya, tetap saja foto Venus yang diberikan Mariner 10 ini mengundang kekaguman para peneliti.

Wahana ini telah memberikan pengetahuan luar biasa tentang permukaan Merkurius. Selain itu, wahana ini juga mendeteksi adanya medan magnet di Merkurius. Satu hal yang mengagetkan bagi peneliti karena planet ini memiliki rotasi yang lambat. Akhirnya, pada tahun 1975 Mariner 10 pun sudah tidak berfungsi lagi setelah bahan bakarnya habis dan kontak dihentikan.

Mariner 10 (kiri) dan Messenger (Sumber: Wikipedia)

Mariner 10 (kiri) dan Messenger (Sumber: Wikipedia)

Baru pada tahun 1998, misi terbaru ke Merkurius mulai direncanakan. Wahana pada misi itu dinamai Messenger, yang diluncurkan pada tanggal 3 Agustus 2004. Target misi ini adalah mengorbit Merkurius pada tanggal 18 Maret 2011. Terdapat 6 pertanyaan yang harus dicari jawabannya oleh Messenger: 1. Mengapa kerapatan Merkurius begitu tinggi?; 2. Bagaimana riwayat sejarah geologis planet ini?; 3. Bagaimana sifat medan magnet Merkurius?; 4. Bagaimana susunan internal Merkurius?; 5. Apa materi yang terdapat pada kutub-kutub Merkurius?; dan 6. Bagaimana komposisi atmosfer Merkurius?

Di masa yang akan datang, sebuah misi lagi akan dijalankan. Namanya BepiColombo. Misi ini akan melengkapi data yang didapat Messenger. Direncanakan untuk diluncurkan pada tahun 2013 dan mengorbit Merkurius pada tahun 2019, BepiColombo akan mengumpulkan data selama 1 atau 2 tahun. Para ilmuwan tentunya berharap kedua misi tersebut akan membawa manusia semakin mengenal karakteristik planet kecil ini.

Mengapa Bintang Tampak Berkedip ?

Pernahkah Anda perhatikan dengan seksama, bahwa bintang yang kita amati di malam hari tampak berkedip? Cahayanya berubah-ubah seperti lampu kelap-kelip, dan terkadang warnanya pun berubah-ubah dari putih ke biru atau merah dan sebaliknya. Sebenarnya bintang memancarkan energinya relatif konstan/stabil setiap saat. Jadi perubahan yang terjadi tidak berasal dari bintangnya. Ada hal lain yang menyebabkan bintang tampak berkedip. Apakah itu?

Penyebab utamanya adalah karena bumi memiliki atmosfer. Banyaknya lapisan udara dengan temperatur yang berbeda-beda di atmosfer menyebabkan lapisan-lapisan udara tersebut bergerak-gerak sehingga menimbulkan turbulensi. Turbulensi ini bentuknya sama seperti ombak atau gelombang di laut dan kolam renang. Jadi untuk mendapatkan gambaran seperti apa yang terjadi di atmosfer, bayangkan sebuah kolam renang yang permukaannya tidak tenang.

Bintang tampak berkedip (Sumber: APOD)

Bintang tampak berkedip (Sumber: APOD)

Sebuah koin yang terletak diam di dasar kolam renang akan tampak bergerak-gerak jika kita lihat dari atas permukaan air. Gerak semu ini terjadi karena adanya refraksi/pembiasan. Menurut ilmu fisika, ketika berkas cahaya melewati dua medium yang indeks biasnya berbeda, cahaya tersebut akan dibiaskan/dibelokkan. Untuk kasus koin di kolam renang, cahaya yang dipantulkan koin melewati dua medium yang indeks biasnya berbeda, yaitu air dan udara, sebelum jatuh di mata. Dan karena permukaan air yang tidak tenang, posisi koin yang sebenarnya tetap pun akan tampak berpindah-pindah.

Hal yang sama terjadi pada cahaya bintang yang melewati atmosfer bumi. Ketika memasuki atmosfer bumi, cahaya bintang akan dibelokkan oleh lapisan udara yang bergerak-gerak. Akibatnya posisi bintang akan berpindah-pindah. Tetapi karena perubahan posisinya sangat kecil untuk dideteksi mata, maka kita akan melihatnya sebagai kedipan.

Lalu, bagaimana dengan planet, mengapa planet tidak tampak berkedip? Bintang, sebesar apapun ukurannya dan sedekat apapun jaraknya, akan tampak sebagai sebuah titik cahaya jika diamati dari bumi, bahkan dengan teleskop terbaik yang dimiliki manusia. Sedangkan planet yang memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada bintang akan tampak lebih besar dari bumi karena jaraknya yang jauh lebih dekat. Dengan teleskop kecil saja kita akan dapat melihat planet sebagai sebuah piringan, bukan sebagai sebuah titik cahaya. Ukuran piringan ini cukup besar sehingga turbulensi atmosfer tidak memberikan pengaruh yang nyata pada berkas cahaya planet. Dilihat dari permukaan bumi, planet pun akan tampak tidak berkedip. Kecuali pada kondisi atmosfer yang turbulensinya sangat kuat, atau saat planet berada di dekat horison, planet akan tampak berkedip juga. Karena pada saat planet berada di dekat horison (sesaat setelah terbit atau sebelum tenggelam), berkas cahayanya harus melewati atmosfer yang lebih tebal.

Setelah kita tahu bahwa penyebab bintang tampak berkedip adalah atmosfer bumi, kita bisa sesuaikan dengan kebutuhan kita dalam melakukan pengamatan. Jika kita ingin mengamati bintang dengan gangguan atmosfer paling sedikit, kita bisa tunggu hingga bintang tersebut berada dekat meridian. Atau jika kita ingin melihat bintang tidak berkedip sama sekali, kita bisa pergi ke luar angkasa, atau bulan, atau planet yang tidak memiliki atmosfer (ingat, bulan tidak memiliki atmosfer).

Selasa, 15 Maret 2011

Messenger Akan Mengorbit Merkurius



NASA/Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory/Carnegie Institution of Washington
Ilustrasi Messenger saat memasuki orbit Planet Merkurius.

KOMPAS.com - Wahana luar angkasa Messenger milik NASA akan mengukir sejarah baru Kamis (17/3/11) mendatang. Kurang lebih pukul 07.45 WIB, Messenger akan mengorbit di Planet Merkurius. Jika berjalan lancar, maka selama setahun mendatang, Messenger akan mempelajari planet terdekat Matahari itu, termasuk meneliti komposisi dan lingkungannya.

Beberapa pertanyaan kunci yang diharapkan bisa dijawab oleh Messenger adalah, bagaimana atmosfer Merkurius, mengapa Merkurius berdensitas tinggi dan bagaimana sejarah geologis planet itu. Ilmuwan mengungkapkan, mempelajari Merkurius akan membantu para astronom memahami evolusi planet, terutama planet batuan seperti Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars.

Messenger adalah kepanjangan dari Mercury Surface, Space Environment, Geochemistry and Ranging. Wahana luar angkasa itu berbiaya 446 juta dollar AS dan diluncurkan pada tahun 2004. Sejauh ini, Messenger telah melakukan perjalanan dengan rute memutar sejauh 7,9 miliar kilometer selama 6,5 tahun. Messenger telah mengitari Bumi sekali, Venus 2 kali, dan Merkurius 3 kali.

Perjalanan Messenger mendekati Merkurius telah menghasilkan beberapa foro menakjubkan. Pimpinan Investigasi Sean Solomon dari Carnegie Institution of Washington menngungkapkan, "Perjalanan Messenger telah mencapai tahap akhirnya. Masuknya Messenger ke orbit merupakan babak baru untuk masuk ke permainan selanjutnya, operasi di planet terdalam tata surya."

Messenger nantinya diharapkan mengelilingi Merkurius setiap 12 jam. Messenger akan ada pada jarak 200 km dari permukaan Merkurius dan akan bergerak sejauh 15.000 km. Misi Messenger akan berlangsung selama satu tahun Bumi. Karena rotasi Merkurius sangat lambat (setara dengan 176 hari di Bumi), maka Messenger hanya akan melakukan misi selama 2 hari Merkurius.

Senin, 14 Maret 2011

Gempa Jepang Mempercepat Rotasi Bumi



AP
Tsunami menghantam garis pantai Iwanuma di Jepang utara setelah gempa 8,9, mengguncang daerah itu, Jumat (11/3/2011).

Gempa berkekuatan 9 Skala Richter (SR) yang terjadi di Jepang Jumat (11/3/2011) menyebabkan distribusi massa di Bumi berubah karena pergerakan lempeng dan runtuhnya batuan di kulit Bumi. Hal tersebut berpengaruh terhadap kecepatan rotasi bumi menjadi sedikit lebih cepat dan manusia mengalami hari yang lebih singkat.

"Dengan berubahnya distribusi massa di Bumi, gempa Jepang mengakibatkan Bumi berotasi lebih cepat, mempersingkat hari sebanyak 1,8 mikrodetik," kata Richard Gross, geofisikawan di Laboratorium Propulsi Jet milik NASA di Pasadena, AS, seperti dilansir Space.com. Analisi sebelumnya gempa tersebut hanya berpengaruh mempercepat rotasi 1,6 mikrodetik, namun data terakhir menunjukkan kalau kekuatannya lebih besar.

Namun, pengaruh tersebut jauh lebih kecil ketimbang variasi tahunan lama rotasi Bumi. Panjang satu hari atau waktu rotasi Bumi adalah 24 jam atau 86.400 detik. Panjang hari selama ini bervariasi sekitar 1000 mikrodetik bergantung pada variasi musim distribusi massa Bumi.

Perubahan waktu rotasi akibat gempa seperti kali ini bukanlah yang pertama terjadi. Gempa Aceh tahun 2004 misalnya, mempersingkat hari sebanyak 6,8 mikrodetik. Sementara gempa di Chile mempersingkat hari sebanyak 1,26 mikrodetik.

Gross mengungkapkan, perubahan ini belum selesai. Gempa susulan juga bisa mengubah waktu rotasi. "Gempa susulan juga bisa mengubah waktu rotasi. Namun karena kekuatan gempa susulan lebih kecil, pengaruhnya juga lebih kecil," jelasnya.

Secara teori, Gross mengungkapkan, apapun yang berdampak pada distribusi massa Bumi akan berdampak pada rotasi. Gempa dilaporkan mempercepat sedikit gerakan rotasi bumi yang biasanya sekitar 1.604 km/jam.

Meski demikian, ahli astrofisika dari Indonesia yang bekerja di Max Planck Institute for Astronomy, Johny Setiawan, tak terlalu yakin dengan pendapat itu. Menurutnya, panjang pendeknya hari hanya bisa terjadi bila ada efek dari luar bumi.

"Kalau Bumi kejatuhan asteroid sehingga massanya bertambah, pasti akan berubah panjang pendeknya hari," lanjutnya. Menurutnya, jika massa bumi tetap sama maka harusnya kecepatan rotasi dan lamanya rotasi juga akan tetap sama.